026: Tetua or ...

4.3K 416 14
                                    

MENYIMPAN sepatunya dengan tatapan kosong, Haechan memikirkan tentang kata kata Yoshi tadi siang omong omong.

Mengabaikan Papanya,

Bentar su, aing ga inget Haechan manggil Ten apa??

Mengabaikan Ten yang memanggilnya sedari tadi dari dapur. Merasa aneh saja melihat si bungsu yang jalan dengan tatapan kosong begitu.

Biasanya dia suka teriak-teriak tidak jelas atau tidak bersikap seolah-olah miss universe yang nunjukin pesonanya. Lah ini, kaya yang baru saja merenggang nyawa.

Kosong, muram, dan menyedihkan so pasti.

Karena kasihan dengan si bungsu, Ten berinisiatif menyusul Haechan ke kamarnya. Mendengarkan cerita sang anak seperti lima tahun kebelakang.

Semenjak anak anaknya bertambah usia, Ten rasa dia semakin jauh dengan sang anak. Apalagi dengan si bungsu.

Dia hanya bisa melibat raganya, tapi dia tidak bisa mengapai jiwanya.

“Donghyuck?” Ten mengetuk pintu kamar sang anak, walaupun dia tau jika kamar itu tak dikunci, tapi dia tidak mau mengganggu apa yang sedak Haechan lakukan di dalem.

Tok..

Tok...

Beberapa menit kemudian pintu kamar sang anak terbuka, menampilkan Haechan dengan senyuman kecil yang hinggap di bibir plumnya.

“Ada apa, Pap?”

Tak menjawab pertanyaan sang anak, Ten mendorong tubuh gempal Haechan untuk masuk kembali ke kamarnya.

Mendudukkan dirinya di ranjang sang anak dan memeluknya erat. Mendekap kepala sang anak di dadanya dengan usapan usapan halus di rambut sang anak.

“Kau kenapa? Ada masalah? Mau berbagi cerita dengan Papa?” Haechan terkekeh pelan, membalas pelukan sang Papa dengan melingkarkan tangannya di pinggang Ten.

“Aku baik-baik saja, sedang memikirkan sesuatu saja.” Ten menghela nafas pelan, menepuk bahu sang anak dua kali sebelum menjauhkan kepala sang anak dari dadanya. Menatapnya lembut dengan usapan pelan di pipi sang anak.

“Tidak, kau sedang mempunyai masalah. Kenapa hm? Sini bilang sama Papa, siapa tau Papa bisa membantumu.” Haechan menatap sang Mae dengan tatapan sendu, kembali memeluk tubuh ringkih itu perlahan.

“Haechan takut Papa.” Menaikan alisnya bingung, Ten mengelus punggung Haechan yang menurun lesu.

“Takut kenapa? Ceritanya yang jelas, Papa bukan Daddymu yang cenayang itu.” Tersenyum tipis, Haechan mendongkak menatap sang papa ragu. “Ceritakan saja.”

Haechan mengangguk, membuka belah bibirnya dan memulai pembicaraannya setelahnya. “Siang tadi, aku mengobrol dengan Yoshi dan Hyunsuk. Mereka bilang, para tetua sudah mulai menerka-nerka Elder yang katanya sedang sembunyi di balik salah satu klan yang beberapa waktu lalu memperebutkan wilayah rogue di timur.” Ten mengangguk mengerti.

“Dan ya, mereka pasti sesegera mungkin bisa nemuin sang Elder itu siapa kan Pap? Terus nanti Mark, hahh,” Haechan menunduk, entah kenapa liquid bening yang tertahan dari kelopak matanya jatuh seketika. Padahal dalam hati dia yakin bahwa dia tidak akan menangis hanya karna pembahasan ini.

Mate[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang