52. The Truth

3.9K 198 48
                                    

• happy reading •

Pagi ini suasana meja makan sangatlah dingin. Antara ibu dan anak tidak satu pun ada yang mengeluarkan kata, bahkan keduanya tidak saling menatap satu sama lainnya.

Valen fokus pada sarapannya sementara Ava hanya terdiam karena tak memiliki selera makan sama sekali. Ia hanya memandangi sarapannya saja, belum tersentuh sedikit pun.

Menyadari hal tersebut, Valen akhirnya menatap putrinya yang duduk di hadapannya. "Makan sarapanmu!"

Mendengar perintah Valen yang terkesan membentak, mata dan pipi Ava mendadak memanas hendak menangis. Sebelumnya Valen tidak pernah seperti itu kepadanya, apakah sekarang dan selanjutnya sikap ibunya itu akan selalu seperti itu?

Bagaimana mungkin Ava akan kuat bertahan menghadapi ibunya sendiri.

"A-ava langsung berangkat aja, Ma," ucap Ava dengan suara bergetar. Gadis itu buru-buru berdiri dan mengambil tasnya.

Ketika ia hendak melangkah pergi, ia ditahan oleh Valen.

"Sekedar nurut apa sesusah itu, Ava?! Mama udah cukup kecewa sama kamu, dan sekarang kamu mau bertikah kaya gimana lagi?? Mama ga pernah mengharapkan anak Mama tumbuh dengan sifat dan sikap yang menjijikan seperti ini!"

Bentakan Valen membuat tubuh Ava terasa seakan melemas. Matanya berkaca-kaca. Valen menghabiskan air minum di gelasnya dan langsung beranjak pergi dari sana.

Tangis Ava mulai tak dapat dibendung lagi dan ia pun kembali mendudukkan dirinya di kursi terdekatnya. Ia kembali menangis di sana. Perkataan Valen barusan sungguh-sungguh menyakitkan.

Bi Nuri yang melihat hal tersebut tentu saja menjadi iba terhadap anak majikannya. Ia memberanikan diri untuk mendekati Ava dan memegang pundaknya.

"Non. Non yang sabar ya. Ini cobaan dari Tuhan, Non harus kuat." Bi Nuri berusaha berkata sepelan dan selembut mungkin. Ia takut kalau ia salah ucap, ia akan memperburuk perasaan Ava.

"Bibi percaya kan sama Ava? Bukan Ava pelakunya, Bi..." isak Ava.

"Bibi selalu percaya kok, Non. Non Ava ga mungkin ngelakuin itu, Bibi udah merawat Non dari kecil, Bibi percaya penuh sama Non."

Ava masih terdiam dan air matanya masih saja menetes. Namun semua itu harus segera ia sudahi karena mau bagaimana pun juga ia harus berangkat ke sekolah pagi ini.

***

"Kamu ga ke sekolah?" Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seorang wanita yang sudah cukup berumur kepada cucu laki-lakinya yang duduk di sebelah brankar pasien.

Jean menggelengkan kepalanya. "Hari ini ga ada kegiatan yang penting di sekolah. Elina juga minta ditemenin, jadi Jean di sini aja nemenin dia."

"Kamu yakin nggak akan ketinggalan pelajaran?"

"Nggak apa, Oma. Elina lebih penting, lagian nggak ada ulangan harian," jawab Jean. Neneknya hanya bisa tersenyum dan mengangguk paham.

"Oma jam berapa nanti di jemput? Atau mau Jean yang nganter Oma pulang?"

"Ndak perlu. Nanti Oma dijemput sekitar jam 10-an. Kamu temenin aja adikmu nanti."

Jean mengangguk patuh. Ia kemudian menatap Elina yang masih memejamkan mata karena tertidur. Sebenarnya ia sangat ingin bertanya tentang beberapa hal kepada adiknya itu, namun harus ia tahan karena kondisi yang belum membaik sepenuhnya.

He's My Boy [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang