12 | Doa untuk Mereka

1.8K 94 8
                                    

Dorothy yakin, ada yang salah dengan sikap Vienna belakangan ini. Vienna tampak tidak antusias, seperti saat pertama kali dia tiba di Baratheon. Seakan-akan dia menyesali keputusan yang dia buat, setelah membaca surat dari Forren. 

Dorothy pikir Vienna cukup egois dalam hal ini, meskipun dia tidak sepenuhnya beranggapan seperti itu. Siapapun pasti berat melepaskan keluarganya untuk pergi ke tempat yang paling mematikan. Medan perang. Sehebat apapun orang itu menggunakan pedang, mereka bisa mati kapan saja. Tetapi Vienna tidak bisa menuntut lebih, Forren berhak menentukan pilihannya. Apalagi Vienna lebih dulu meninggalkan Drugsentham. 

Vienna terlihat uring-uringan di depan kaca kamarnya memandangi hari yang sudah semakin terang. Seharusnya mereka sudah berada di kereta kuda saat ini, pergi ke istana untuk melanjutkan studi mereka. 

Dorothy tidak bisa melakukan apapun, karena menurutnya, ini salah Vienna. Jika dia benar-benar tidak ingin Forren pergi berperang, seharusnya dari awal dia tidak memulai studi ini. Selain merugikan diri sendiri, Vienna juga merugikan banyak pihak. Philip mungkin akan segera mengirim surat kecewa tentang perilaku Vienna yang labil, kemungkinan terburuk, studi mereka mungkin akan batal di pertengahan. "Nona, saya tidak akan membujuk seperti saat nona masih kecil. Jika nona meneruskan tingkah kekanak-kanakan ini, lebih baik nona keluar dari kamar dan meminta maaf karena telah memberikan harapan palsu pada anak-anak muda di luar sana. Mereka punya keluarga yang harus di nafkahi," Dorothy tidak akan meminta maaf untuk perkataannya yang kasar. Namun, dia berhak menegur Vienna. Karena bagi Dorothy, Vienna sudah seperti anaknya sendiri. 

Vienna menatap Dorothy dengan mata yang berkaca-kaca, "Aku mencoba mengerti keputusannya Dorothy, tapi kakak bahkan tidak bisa menunggu hingga aku kembali, aku juga, setidaknya ingin mengucap perpisahan dan memberikan doa agar dia baik-baik saja disana." Vienna memang kecewa karena Forren harus turun ke medan perang lagi, tapi dia lebih kecewa karena disaat seperti ini, dia tidak ada disana untuk mengucapkan 'selamat tinggal' dan 'hati-hati' untuk Forren. Vienna bertahan untuk tidak merengek, tapi dia tidak bisa. Vienna juga takut kehilangan lagi. 

Sepertinya trauma terukir sangat dalam di benak Vienna. Dia tidak bisa tidur dengan benar selama lima hari. Saat-saat dimana Forren pulang dengan luka yang parah, cedera, kehancuran keluarganya terus menghantui malam-malam Vienna. 

Dorothy berusaha untuk menutupi perasaannya, namun pada akhirnya dia tidak berhasil. Tanpa sepatah kata, dia keluar dari kamar itu, memberikan Vienna ruang untuk menyendiri. Di seberang pintu, Jacob, Feby, dan Dian nampak terlihat gelisah karena kekhawatiran atas keadaan Vienna. Raut wajah Dorothy yang sedih cukup memberikan jawaban kepada mereka. 

"Ti-tidak apa-apa, kita seharusnya mengerti perasaan nona Vienna. Kita bisa menunggu," ujar Feby meyakinkan yang lain. 

"Tapi kita tidak bisa membuat tuan Philip menunggu, bisa saja dia marah, kita juga harus menyelesaikan gaun yang akan di presentasikan," cemas Dian sambil menggigit kukunya, "ini jadi seperti sia-sia," imbuh Jacob. 

Dorothy menghela nafas, "Begini saja, kalian tetap pergi ke kastil Orchis, nanti aku akan menyampaikan situasinya pada tuan Philip," Dorothy berusaha untuk mengendalikan keadaan agar mereka tidak panik. Disamping itu, dia berdoa, semoga semua akan baik-baik saja saat mereka tiba di istana.

***

Nathaniel memberikan tatapan membunuh pada Timothy sambil berkacak pinggang. "Jadi aku ini alat transportasi mu, Yang Mulia?" tekan Nathaniel. 

Timothy tidak menjawab, karena dia sibuk menggunakan zirah baja yang berlapis-lapis. Dia sudah kesal dengan semua pakaian baja yang sedang dipasang ke seluruh badan, dia tidak ingin memperburuk suasana hatinya. Ketika para pelayan selesai mengenakan zirah pada Timothy, mereka langsung mengundurkan diri. Semua orang di istana tahu ketika pangeran mereka sudah mengenakan baju perang, Timothy akan mudah marah-marah dan pribadinya menjadi lebih kejam. Kesalahan sekecil apapun, mungkin bisa membuat Timothy kesal dan menarik pedangnya untuk memenggal kepala mereka langsung di tempat. Tapi sepertinya Nathaniel tidak sedikit pun pernah merasa takut pada Timothy, terkadang dia juga tidak bisa bersikap sesuai dengan situasi. 

Timothy akan pergi memimpin seribu pasukannya di medan perang. Tentu dia merasa tegang dan gelisah. Ada banyak nyawa yang bergantung kepadanya, ada keluarga mereka yang menunggu kepulangan para prajurit dengan doa-doa dan tangisan. anak, kakak, adik, pasangan, suami, ayah, ibu, anak mereka, semua bergantung kepada kepemimpinannya. Tanggung jawab berat ada di bahu Timothy. Bahkan mungkin tidak akan cukup jika dibayar dengan kematian seorang pangeran. 

Nathaniel menjentikkan jari, dalam sekejap jubah putihnya berubah menjadi jubah berwarna hitam dengan ukiran emas. Sama seperti Timothy, Nathaniel juga punya kewajiban yang sama, menjaga nyawa pangeran negeri Baratheon sepenuh jiwa dan raga. 

Para prajurit sudah berangkat lebih dahulu, bersamaan dengan seluruh perlengkapan perang mereka. Sementara sebelas pasukan penyihir, termasuk Nathaniel berangkat lebih lama, karena mereka harus mengoptimalkan seluruh kekuatan mereka untuk bisa mendukung enam ribu prajurit dengan sihir. "Tenangkan dirimu, orang-orang akan takut jika kau membuat wajah mengerikan seperti itu. Kau pasti bisa," ujar Nathaniel.

"Aku bisa, tapi tidak dengan orang-orang yang akan kehilangan mereka. Aku bahkan harus melakukan perang ini dua kali. Ini membuatku muak." Timothy berjalan dengan gagah, bersama Nathaniel yang sebagian wajahnya tertutup oleh topi jubah. Meskipun mereka akan berangkat menggunakan sihir, ada protokol kerajaan yang harus mereka lakukan. 

Saat tiba di gerbang utama istana, tanpa sengaja Timothy melihat kereta yang biasa digunakan oleh Vienna. 

Ah benar, ini adalah hari mereka untuk belajar. Batin Timothy. Namun ketika dia tidak mendapati Vienna turun dari kereta itu, Timothy merasa janggal. Nathaniel juga merasakan hal yang sama. Dorothy yang memang melihat kehadiran mereka, lantas memberikan salam, begitu juga dengan yang lainnya. 

"Kemana nona Vienna?" tanya Timothy. 

Dorothy enggan memberitahu, namun dia juga tidak bisa bersikap tidak sopan kepada bangsawan kelas atas, "nona sedang merasa tidak enak badan, sehingga kami memutuskan untuk membiarkan nona beristirahat, Yang Mulia." 

Timothy ingin melihat kejujuran dari mata Dorothy, tapi pelayan itu hanya menunduk. Timothy akui, Dorothy sangat pintar dalam menyembunyikan informasi, karena dia sudah terbiasa hidup bersama para bangsawan. Namun tidak dengan Jacob, Feby, dan Dian. "Apa benar seperti itu?" cerca Timothy pada mereka. 

Melihat Timothy yang tampak tegas, tentu membuat mereka terintimidasi. "Ya, Yang Mulia, apa yang dikatakan oleh nona Dorothy memang benar. Nona Vienna sedang merasa sedih karena tuan Forren akan turun ke medan perang, Yang Mulia." Dorothy merutuki Dian, karena memberitahukan informasi yang tidak perlu. 

Forren?

Timothy ingat. Di perang sebelumnya, memang ada kabar salah seorang prajurit khusus dari Drugsentham mengalami cedera parah, hingga memaksanya untuk keluar dari pasukan itu. Nama prajurit itu Forren, tidak ada informasi yang dia ketahui selain itu. 

"Baiklah, kalian boleh pergi." Nathaniel hanya memandang kepergian mereka, dengan Timothy yang menghela nafas panjang. 

"Ayo, kita juga kehabisan waktu."

***

Setelah menyelesaikan berbagai agenda yang merepotkan serta menghadap kepada raja, akhirnya mereka bisa berangkat ke lokasi perang. Sebelas penyihir, termasuk Nathaniel berdiri melingkar dengan Timothy yang berdiri di tengah-tengah mereka. Para penyihir mulai saling berpegangan tangan, namun Nathaniel masih sibuk dengan pikirannya sendiri. 

"Apa yang sedang kau pikirkan? Kita akan terlambat," Timothy menyadarkan Nathaniel, namun dia malah berlutut di hadapan Timothy. 

"Maaf Yang Mulia, namun bisakah anda memberikan waktu kepada saya untuk meyelesaikan sesuatu?" ucap Nathaniel.

Timothy mengerutkan kening, tidak biasanya Nathaniel bertingkah di saat genting seperti ini. Tetapi mereka akan terlambat jika harus berdebat, "Apakah 30 menit cukup untukmu?" Nathaniel mengangguk, "lebih dari cukup, Yang Mulia." 

"Baiklah, aku tidak akan memberi toleransi jika kau tiba lebih lama dari itu." Nathaniel mundur, membiarkan 10 penyihir bawahannya, beserta Nathaniel melakukan teleportasi. 

___
Hola para Readers!
Gimana kabar kalian? Jadi Author masih sama sibuknya di perantauan apalagi sudah mendekati penghujung event, jadi author mau announcement kalau akan up cerita sabtu dan Minggu saja yah. Khusus untuk Minggu ini Author akan up hari ini!

Selamat membaca!

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang