45 | Tenggelam

781 55 1
                                    

Kornelia menatap kehadiran Timothy dan Nathaniel. Dia sibuk mencoba untuk merusak pintu rumah Serena untuk menyelamatkan Vienna yang terlilit oleh asap Kaligor. "Yang Mulia, Penyihir agung...," hanya dari matanya saja, Nathaniel sudah mengerti apa yang sedang terjadi di dalam sana.

"Sudah berapa lama?" tanya Nathaniel.

"Mungkin sepuluh menit, atau lebih," Kornelia segera memberikan Nathaniel ruang untuk membaca mantra sihir. Tidak sampai sedetik, pintu kayu rumahan itu hancur seperti remah roti ketika Nathaniel menggenggam gagangnya.

Timothy segera berlari menghampiri tubuh Vienna yang melayang di udara dengan lilitan sihir iblis di sekujur tubuhnya. "Yang Mulai, biarkan saya menangani ini." Nathaniel mengambil ancang-ancang. Dalam sekejap lilitan sihir hitam tersebut hilang dan tubuh Vienna terjatuh ke tanah.

Timothy memangku kepala Vienna, "apa dia baik-baik saja?" raut wajah Timothy datar, tetapi dari bicara dia, siapapun tahu kalau dia sedang khawatir.

"Tidak apa-apa, dia hanya dibawa berkeliling oleh iblis itu," mendengar kata Nathaniel sama sekali tidak membuat Timothy tenang. Lebih penting dari semua itu, sihir hitam yang tadi berhasil dipatahkan oleh Nathaniel masih membekas di udara. Nathaniel merasa familiar, mengenai siapa pemilik sihir tersebut. Senyum gila tercetak jelas di wajah Nathaniel. 

Timothy memandang Kornelia dan segera memberi instruksi, "pergilah sebelum anak buah duke menemukanmu." Kornelia segera menunduk siap dan menghilang dengan sihir. 

"sebenarnya apa yang sedang dipikirkan nona ini? sampai nekat datang ke tempat yang tingkat bahayanya seperti ini?" tanya Nathaniel. 

Timothy hanya memandang wajah Vienna, sudah lama dia merindukannya. Nafas Vienna yang teratur membuat Timothy tenang. Perasaan nyaman yang selalu timbul dan lega ketika Timothy bisa menjangkau keberadaan Vienna, perasaan yang selalu membuatnya hampir mati gila jika tidak mengetahui kabar Vienna. Tanpa diduga, ujung bibir Timothy membentuk bulan sabit kecil, pipinya sedikit memerah, "yang penting dia baik-baik saja." 

Benar, Timothy hanya ingin Vienna baik-baik saja dan bahagia. Seharusnya itu sudah lebih dari cukup untuk dia. Nathaniel menyipitkan mata, tidak terlalu yakin dengan perkataan Timothy. Nathaniel tidak pernah merasakan jatuh cinta, tetapi dia cukup familiar dengan perasaan itu. Di Suatu tempat. Bukankah, mencintai itu harus memiliki?

"cinta itu egois, saya rasa Yang Mulia tidak akan bisa mengabaikannya." Timothy mengangkat tubuh Vienna kedalam dekapannya, "ya, aku memang tidak akan pernah bisa mengabaikannya, terlalu rumit dan menjengkelkan." Timothy akui, dia mencintai Vienna lebih dari apa yang dia kira. Namun, Vienna ditakdirkan untuk pria lain. Bukan dengan dirinya. Selama mereka tidak bertemu, Timothy selalu merasa khawatir dengan Vienna. Meski setiap hari mendapat surat kabar dari Vienna, tetap saja, kertas-kertas itu tidak bisa membuatnya tenang.  

Nathaniel sudah menyaksikan kelakuan Timothy yang berubah drastis sejak bertemu dengan Vienna. Perubahan ke arah positif itu membuat Nathaniel rakus. Vienna bisa membantu Timothy di masa depan. Memimpin negara dan mampu mendukung keberadaan Timothy. Pikiran-pikiran tersebut membuat Nathaniel lupa, kalau Vienna sejak awal telah memiliki pasangan, yakni Owen. 

Benar saja, ketika mereka berdua keluar dari rumah Serena, Owen beserta beberapa prajurit khususnya sudah menunggu. "apa sebenarnya ini? pangeran." tidak ada keramahan, mereka menjadi asing. 

Seorang prajurit segera mendekat pada Timothy, "biar aku." Nathaniel segera menunjukkan sikap tak bersahabat, menatap prajurit itu dengan ujung mata yang tajam. Pintu kereta kuda dibuka dan Timothy membaringkan tubuh Vienna perlahan, agar tidak membuatnya terganggu. 

Begitu Timothy selesai memastikan keadaan Vienna, Owen segera menyuruh prajurit untuk menutup pintu kereta dan menatap Timothy dengan berbagai pertanyaan. "Kupikir anda patut menjawab pertanyaan saya," sengitnya.

"Apa yang kau pikirkan? Apa aku akan membiarkan seseorang yang memerlukan bantuan?" alis Owen menyatu, terlihat tidak menyukai jawaban Timothy.

"Aku ada untuknya, lagipula anda tidak sedang berada di Baratheon." Owen dengan tegas memberi batas kepada Timothy, tidak ada kompromi dan negosiasi. "Apa kau yakin kau bisa tepat waktu? Apa yang terjadi jika kau terlambat?" entahlah, Timothy tidak berniat membuat keadaan menjadi tenang. Dia memiliki alasan untuk tetap berada didekat Vienna.

Owen tidak ingin melanjutkan percakapan dan segera naik ke kereta kuda. Dia melaju pergi tanpa memberikan rasa hormat dan mengabaikan keberadaan mereka. Timothy dan Nathaniel hanya bisa memandang dari jauh.

"Masalah ini lebih serius dari yang kukira. Tidak salah lagi, Serena telah bersekutu dengan iblis Kaligor," ucap Nathaniel menarik atensi Timothy.

"Apapun itu, kita harus bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkan Vienna lebih jauh lagi," tersirat rasa sedih dari mata Timothy ketika kereta kuda itu tidak lagi tampak oleh penglihatannya.

***

Aura kepemimpinan Owen membuat orang-orang yang ada di ruang tamu keluarga Drussel menjadi tegang.

"Kevi, tolong antarkan minuman ini pada tuan Duke," bisik salah satu pelayan pada temannya. Pelayan bernama Kevi itu segera menolak, "kau gila, saking ketakutannya aku tidak akan bisa menuangkan teh dengan benar," keluh Kevi yang merasa sama takutnya dengan Leona.

"Biar aku saja." Dorothy mengambil nampan yang dipegang oleh Leona ke troli. Tanpa berlama-lama, Dorothy segera mendorong troli tersebut kedalam ruang tamu. Menyajikan kue dan teh mawar untuk Owen, "terimakasih Yang Mulia Duke, karena telah membawa nona pulang," ucap Dorothy dengan tulus.

Owen tersenyum, "tidak apa-apa, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Owen penasaran.

"Nona belum siuman, mungkin sebentar lagi Yang Mulia." Percakapan mereka berhenti sejenak. Dorothy menggigit bibir bimbang, dia ingin bertanya mengenai kasus kematian Feby dan bagaimana Owen menemukan Vienna dalam keadaan pingsan, tetapi Xander sudah tiba lebih dulu di ruang tamu.

"Maaf saya terlambat, Duke." Xander segera memberikan instruksi kepada Dorothy untuk keluar dari ruangan. Semuanya berterima kasih kepada Marquiss, mereka bisa bernafas tanpa takut lagi. Kediaman Drussel jauh dari kata baik, suasana cukup suram dari terakhir kali Owen datang untuk membahas masalah Forren. Biasanya Xander akan sibuk mengurus para pelancong yang datang ke wilayahnya atau berkutat dengan segunung administrasi. Karena status Vienna sebagai tersangka, seluruh kegiatan keluarga dibekukan. 

"Aku akan membantu sebisaku, mengenai masalah ini." Owen akan jujur, dia sedang muak bila bertemu dengan Xander. Ada rumor yang beredar di masyarakat, Marquiss berniat untuk menutup butik Elisa milik Vienna. Namun dia akan menanyakan hal tersebut, nanti. 

Xander duduk dengan kaki bersilang, tampak terlalu tenang untuk orang yang digadang-gadang sebagai ayah yang sangat mencintai putrinya. Sikap baru itu membuat alis Owen berkerut, Xander terlihat acuh tidak acuh mengenai kasus Vienna. "Duke sungguh baik, mau membantu kesalahan putri saya, sungguh berterima kasih." Alex dengan santai menyantap biskuit, tidak peduli tatapan tajam dari Owen. 

Sejenak Owen mengira Xander mungkin hanya berlagak tenang, tetapi tindakannya sekarang jauh dari kata tenang. Alex bahkan bersikap kurang menghormati Owen, tidak seperti sikapnya yang biasa hormat kepada Owen yang jabatannya masih lebih tinggi. "Kesalahan putri anda? Apa anda berpikir kesalahan itu memang dilakukan oleh Vienna?" 

___

Dear Readers!
Bagaimana bulan puasa kalian? Author berharap cerita ini bisa menemani puasa kalian semua. Sedikit berbangga, tahun lalu author tidak pernah menyangka, bagian pertama dari cerita ini hampir memasuki babak akhir (tentu saja masih banyak bab yang belum dipublikasikan). Kalian yang sudah mengikuti cerita ini dari awal hingga bab ini, sudah berhasil membaca 70% dari total keseluruhan bab.

Rencananya (semoga terlaksana), author akan membuat cerita ini menjadi dua bagian dan satu spin off. Author punya banyak referensi untuk bisa terus terinspirasi memberikan akhir cerita terbaik kepada Vienna. Bagi Pembaca yang ingin berhubungan ataupun melihat asal-usul inspirasi tersebut, author sudah hadir di Instagram dengan nama akun yang sama (Magn_ly).

PS: sebenarnya author cukup malas buat main medsos, karena harus mempertimbangkan konten yang ingin di publikasikan. Namun, author juga melihat peluang apabila menyebarkan konten secara individu. Misalkan, dengan terbiasa membuat konten untuk media sosial, author bisa tetap lurus pada rencana awal dari kisah yang sudah author rancang.

Sekian sapaan hangat dari author, 

Magn_ly.

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang