13 | Aku Penyihir

1.6K 107 0
                                    

Vienna masih tetap pada posisinya, bahkan setelah dia melihat kereta kuda keluar dari kediaman. Dia juga merasa bersalah karena bertingkah seperti ini disaat yang lain menaruh harapan padanya.

Vienna tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Dia kecewa karena membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Vienna meringkuk, memeluk kedua lututnya.

Pada akhirnya dia bisa menangis dengan tenang tanpa perlu membuat orang-orang semakin khawatir.

Vienna merasa bodoh, karena tidak ada yang berubah. Jika seperti ini Forren akan tetap mengalami cedera, dan dia akan tetap mati. Semuanya kembali pada tempatnya. Usaha Vienna sia-sia.

Kalau seperti ini apa gunanya aku hidup kembali!?

Vienna merutuki kelemahannya ini, dia mulai cemas tentang hal-hal yang lain. Saat ini pun, Serena pasti sudah mencoba untuk menyusup disaat Vienna tidak ada di Drugsentham.

"Apakah anda hanya akan menangis seperti ini, nona?" Vienna mendongak, mengalihkan pandangan ke sumber suara. Nathaniel berdiri tepat di sebelah Vienna.

"Kau?" Vienna tidak yakin, tapi dari mana Nathaniel masuk? Dia tidak mendengar suara pintu terbuka. Lalu ada urusan apa, penyihir sekaligus tangan kanan putra mahkota ada di kamar seorang gadis?

"Hah..., berada di luar istana memang lebih nyaman." Nathaniel duduk bersimpuh di lantai, sama sekali tidak memikirkan jubahnya yang mungkin jadi kotor.

Wajah Vienna sembab, dengan hidung yang memerah serta bekas air mata di pipinya membuat ia malu. Jadi dia membuang wajah ke arah jendela, agar Nathaniel tidak bisa melihat betapa hancur Vienna.

"Tadi, aku tidak sengaja bertemu dengan teman nona di istana, kupikir nona mungkin sangat sakit dan aku bisa membantu, jadi aku datang. Tapi sepertinya nona tampak lebih sehat," ujar Nathaniel.

Untuk beberapa saat, terjadi keheningan diantara mereka, "Apakah mungkin ada yang bisa ku bantu untuk nona?" lanjut Nathaniel berharap Vienna mau membuka suara.

"Tidak. Aku berterima kasih karena penyihir sepertimu mau membantuku, tapi kau tidak bisa melakukan apa yang kuinginkan." Nathaniel agaknya kesal dengan pernyataan Vienna, dia tidak terima jika seseorang merendahkan kemampuan sihirnya. Padahal dia sudah memberanikan diri untuk berbicara dengan Vienna. Nathaniel bisa saja langsung menyelesaikan masalah Vienna hanya dalam sekejap tanpa mereka harus bertemu, tapi Nathaniel ingin Vienna jujur pada dirinya sendiri.

Karena akan sia-sia jika dia tidak berubah.

"Aku bisa melakukan apapun, aku adalah penyihir agung. Nona tidak perlu khawatir soal itu," kali ini Nathaniel duduk tepat di samping Vienna, mencoba menarik atensi karena dia sudah hampir kehabisan waktu.

"Salah satu teman nona tanpa sengaja memberitahukan permasalahannya, jadi kupikir itu hal yang mudah bagiku. Ini tentang pria bernama Forren, bukan?" Kali ini Vienna memberanikan diri menatap Nathaniel, netranya yang sebiru lautan memancarkan energi tenang.

Sangat berbeda dengan hawa Timothy, Nathaniel tampak lebih mudah untuk diajak saling berbagi cerita, meskipun dia sangat pemalu. "Dia kakakku. Mungkin saat ini dia sudah berada di medan perang, sebenarnya ini hanya masalah sederhana. Hanya saja...,"

Nathaniel memegang tengkuknya yang gatal, "jika masalah sederhana tidak mungkin nona menjadi seperti ini? Kalau kau ingin, aku bisa membawamu bertemu dengannya,"

"Nona tidak lupa 'kan? Aku seorang penyihir, aku bisa melakukan apapun." Nathaniel berniat menunjukkan trik sihir yang sederhana pada Vienna. Setitik cahaya putih muncul di ujung jari telunjuknya, kemudian berubah menjadi seekor kupu-kupu yang berkilau.

Ini kedua kali sejak Vienna melihat sihir, tetapi dia tidak mengerti mengapa Nathaniel menunjukkan itu. Saat Vienna menatap Nathaniel dengan bingung, ia hanya tersenyum kecil, lalu menyuruh Vienna untuk kembali melihat isi kamar. Seketika Vienna terpukau dengan gerombolan kupu-kupu bercahaya yang menari-nari di seluruh bagian kamar. Sesuatu seperti serbuk peri berjatuhan dari langit-langit setiap kali kupu-kupu mengepakkan sayap. Seluruh ruangan bercahaya! Vienna ingin menyentuh kupu-kupu itu!

Ctak!

Seluruh kupu-kupu menghilang dalam sekejap mata ketika Nathaniel menjentikkan jari.

"Kau bisa melakukan hal seperti itu?"

"Tadi itu hal yang sangat mudah bagiku," kepercayaan diri Nathaniel meningkat drastis saat Vienna terlihat berbinar-binar hanya karena ilusi yang dia buat.

"Kalau begitu apa kau bisa membawa kakakku kesini?" seru Vienna bersemangat.

Nathaniel menggeleng, "sayangnya tidak bisa. Namun aku bisa membawa nona kepadanya." Nathaniel berdiri tepat dihadapan Vienna. Gadis itu tampak bingung dengan jawaban Nathaniel.

Sebenarnya dia bisa, tapi Nathaniel tidak tahu fisik Forren, akan sulit menemukan pria itu di antara puluhan ribu orang. Apalagi lebih mudah membawa Vienna ke tempat Forren, dibandingkan mengeluarkan Forren dari medan tempur yang kapan saja memerlukan tenaga prajurit.

"Bagaimana caranya?" tanya Vienna,

"Coba tebak?"

"Berpindah tempat?" Nathaniel hanya mengangkat alis sebagai jawaban, kemudian memberi telapak tangannya. Tidak perlu waktu lama bagi Vienna untuk berpikir, dia lantas menggenggam tangan Nathaniel meskipun dipenuhi perasaan bingung.

"Nah, ini akan sedikit menyakitkan." Nathaniel menggenggam tangan Vienna yang lain, kemudian mereka berdua memejamkan mata.

"Ephedra," Nathaniel mengucapkan mantra teleportasi, dan dalam sekejap Vienna merasakan sesak di dadanya. Udara di sekitar mereka menipis, dan kepala Vienna serasa di timpa oleh batu. Badan Vienna pun terasa ringan dan mengambang di udara.

Vienna bisa merasakan tubuhnya berpindah tempat begitu cepat, hingga kakinya kembali menapak pada tanah yang berpasir.

"Kita sudah sampai nona."

"Huek," Vienna yang mendengar suara Nathaniel lantas segera melepaskan tangan mereka, memuntahkan seluruh isi perutnya karena kejadian yang berlalu sangat cepat. Dalam sekejap Vienna kehilangan panas tubuh dan menjadi pucat. Selama ini Vienna pikir akan enak bila memiliki kekuatan teleportasi karena bisa berpindah-pindah tempat dengan mudah. Dia tidak tahu kalau melakukan teleportasi akan sangat menyakitkan.

Nathaniel hanya bisa mengalihkan pandangan. Dia juga lupa, ini pertama kalinya Vienna melakukan teleportasi, langsung dengan jarak yang sangat jauh. Seharusnya mereka bisa berpindah secara bertahap.

"Maaf, aku lupa ini adalah pengalaman pertama nona," ucap Nathaniel dengan perasaan yang bersalah.

***

Timothy duduk dengan tenang di dalam tenda kerajaan Baratheon. Sesampainya dia di lokasi perang, Timothy langsung di suguhkan dengan tumpukan kertas administrasi yang memerlukan persetujuan darinya. Tentang akomodasi, makanan, obat-obatan, semua hal itu membuat Timothy menjadi gila. Apalagi dia tidak bisa berhenti mengumpat dalam hati, karena Nathaniel yang sengaja datang terlambat. Padahal baru setengah jam sejak Timothy berada di situ. Dia bahkan belum menyapa pemimpin prajurit yang lain.

Seseorang muncul di depan Timothy, dia adalah salah satu pasukan penyihir. "Yang Mulia, Penyihir agung sudah tiba," lapornya pada Timothy.

Timothy segera berdiri dan keluar dari tenda untuk menyeret Nathaniel menyelesaikan tumpukan kertas yang memuakkan itu. Tidak perlu waktu lama, Timothy menemukan Nathaniel berdiri tidak jauh dari tenda utama. Saat dia hendak memarahi Nathaniel, Timothy malah di kejutkan dengan Vienna yang bersembunyi di belakang punggung Nathaniel.

Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan anak ini!?

Timothy bisa saja meredam amarahnya karena keterlambatan Nathaniel. Tetapi membawa seorang gadis ke medan pertempuran (?) Nathaniel baru saja menggali kuburannya sendiri.

"Ya-yang Mulia," Vienna juga cukup kaget, dia benar-benar berpindah dari kamar ke medan perang, apalagi keadaannya masih pucat pasih.

"Vienna, kita akan berbicara nanti. Segera ikuti aku Nathaniel!!" ketus Timothy. Tidak lama setelah dia berkata seperti itu, tiga orang penyihir muncul mengelilingi Vienna.

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang