65 | Sedikit Lagi

533 39 4
                                    

Serena tidak bisa tidur tenang, seluruh badannya terasa panas seperti sedang dibakar di atas lautan api. Beberapa kepingan ingatan tentang awal mula ia bekerja sama dengan Kaligor terus bermunculan di bawah alam sadarnya. 

"Jangan lupakan janji mu, kau harus memberikan nyawa gadis itu padaku." Serena segera terbangun dalam tidurnya. Matanya membelalak dan tenggorokannya sakit seperti terbakar. Lidahnya mencuat keluar karena rasa haus yang tak tertahankan. Serena segera mengambil segelas air untuk meredakan dahaganya. Ia mencoba mengatur pernafasannya yang tersegal-segal. 

Serena berkacak pinggang mendapati dirinya kian hari dilahap oleh Kaligor. Serena harus memberikan tumbal lebih sering jika dia tidak ingin di santap oleh iblis itu sendiri. Masalahnya, kerajaan semakin gentar menggerakkan para prajurit karena kesedihan putri Sephia yang kehilangan pelayannya. Jika tahu akan jadi seperti ini, Serena tidak akan membunuh Violet hari itu. Semuanya sudah terjadi dan pergerakannya menjadi terbatas. Serena tidak lagi bisa bertahan dalam jangka panjang jika ingin mempertahankan hidupnya hanya dengan satu orang tumbal. Setidaknya dia butuh tiga orang untuk di jadikan tumbal atau bisa lebih dari itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara untuk melepas perjanjiannya dengan iblis Kaligor. 

Serena menggigit ujung-ujung kukunya hingga berdarah. Tiga hari lagi adalah hari pernikahan dan tidak boleh ada kesalahan. Serena sudah hampir berada di ujung tujuannya, Marquiss sudah dikendalikan oleh sihir hitam, Vienna dan Forren tidak memiliki otoritas di keluarga Drussel. Setelah pernikahan, Serena tinggal mencari suami yang cocok untuk Grisella, semua keinginannya hampir terwujud. 

"Tidak, semuanya harus berada pada tempatnya." 

***

Vienna melirik ke kanan dan kiri, seluruh bagian tubuhnya tenggelam dalam jubah hitam yang tertutup hingga ke ujung kepala. Ia membuka pintu bar tua yang ada di ujung gang gelap dengan penuh hati-hati. Tidak ada pelanggan di dalam bar itu, hanya ada alunan musik dan seorang pria yang tengah sibuk membersihkan gelas bir dengan sapu tangan.

Vienna bertanya-tanya dimana kehadiran Timothy dan Nathaniel. Mungkin ia salah alamat, tapi setalah ia memastikannya, alamat itu benar. "Mungkin saja bar ini mirip seperti Dolorei," gumamnya.

Akhirnya Vienna hanya bisa melangkah ke arah sang bartender. Belum sempat ia membuka suara, bartender itu membaca sebuah mantra, "Goumadeundra." Dinding di sebelah kanan Vienna bergeser dengan hebat hingga lantai tempat mereka berpijat bergetar hebat. Dari balik dinding, terlihat ruangan lain. Ia berjalan ke arah ruangan tersebut tanpa banyak bertanya. Tepat ketika Vienna masuk, dinding tersebut kembali bergerak dan menutup. Mata Vienna seketika takjub dengan lautan buku pada setiap rak dinding yang ada, ruangan itu sepertinya sebuah perpustakaan tersembunyi. Ia menatap Timothy, Nathaniel, dan Owen yang duduk di tengah ruangan. 

Vienna melangkah mendekat, "Selamat datang, nona Vienna," sapa Nathaniel dengan senyum tipis. Vienna hanya mengangguk dan ikut bergabung, ia duduk di antara Owen dan Timothy. Ini pertama kalinya Owen ikut bergabung dalam diskusi mereka.

"Semuanya sudah berjalan sesuai dengan rencana kita, seharusnya semua akan segera berakhir," celetuk Nathaniel sambil memainkan bola sihir putih pada salah satu ujung jari telunjuk. Sementara Timothy dan Owen lebih memilih menikmati teh tanpa banyak berbicara. Vienna bersandar pada kursinya, menghela nafas dengan berat.

Siapa yang menyangka, awalnya dia ingin menyelesaikan semua permasalahan yang tengah dihadapi seorang diri. Pada akhirnya, dia justru tidak melakukan apa-apa. Timothy dan Nathaniel justru yang paling banyak membantu, sedangkan ia tidak tahu sejak kapan Owen bergabung ke dalam permasalahannya.

"Aku minta maaf, karena kalian ikut menyelesaikan permasalahan pribadiku," ujarnya dengan rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, sejujurnya lebih baik meminta pertolongan dibandingkan tersiksa seorang diri." Komentar Timothy lantas membuat Owen melirik dari ujung matanya.

Vienna mengangguk paham, yang dikatakan Timothy memang benar. Mungkin seharusnya sejak awal, ia bisa mencari bantuan alih-alih berusaha seorang diri. Hanya saja, tidak seharusnya sampai melibatkan mereka. Vienna bisa saja meminta tolong pada pembunuh bayaran (misalnya).

Dengan gesturnya, Owen menawarkan teh untuk Vienna. Tentu saja, ia tidak menolak. Asap kepul menyeruak dengan aroma mawar ketika Owen menyeduh teh ke cangkir. Vienna menerima teh tersebut dengan sukacita, menempelkan kedua telapak tangannya pada dinding cangkir untuk menghangatkan badan.

"Apa kalian sudah mendapatkan tempat penumbalannya?" Tanya Vienna.

"Tentu saja, kau tidak akan percaya orang terakhir yang di tumbalkannya adalah pelayan putri Sephia," jawab Nathaniel dengan tenang.

"Putri pasti akan sangat bersedih jika mendengar kabar ini." Ada sedikit raut sedih pada wajah Vienna.

"Kabar ini harus kita tahan hingga hari pernikahan, seharusnya dengan semua kemungkinan ini, Serena tidak bisa menghindar. Jalankan menyela, ia bahkan tidak bisa menutupi fakta bahwa ruangan itu ada di kediaman lama Slawy."

Lagi, Vienna menghela nafas, "aku tidak percaya rumah yang diberikan oleh mama, dijadikan tempat penumbalan olehnya. Terlebih lagi, soal kematian mama... ."

Timothy mengangguk, menatap Owen secara terang-terangan, "peran penting ada pada Duke untuk bisa menangkapnya. Oleh karenanya, hari ini Duke ikut ke dalam pembahasan kita."

Vienna mengerti, sudut bibirnya sedikit naik. Senyumnya pilu dan tampak aneh. "Terimakasih karena Yang Mulia Duke mau membantu permasalahan ini."

Owen tidak banyak bicara, ia hanya sibuk menyesap teh. Sementara itu, Nathaniel justru menggeleng kepala. Interaksi ketiganya tampak sangat kaku, apalagi tiga-tiganya tampak bingung ingin membahas apa. Meski begitu, Nathaniel lebih memilih untuk tidak bergabung ke dalam pembahasan. Ada hal yang paling ia khawatirkan.

Sejatinya, Iblis adalah makhluk astral yang cerdik dan licik. Sulit untuk memprediksi apa yang diinginkan oleh iblis, apalagi sekelas iblis atas seperti Kaligor. Dugaan kuat berbisik dari balik hatinya, berkata bahwa semua ini hanyalah skenario yang justru sudah diketahui oleh sang iblis. Kaligor seakan sengaja melepaskan mereka dengan mudah.

Tak bisa dipungkiri, Nathaniel merasa sangat waspada pada kondisi sekarang. Namun semuanya terlihat baik-baik saja, jadi dia hanya akan mengawasi hal ini diam-diam. Memantau perkembangan iblis itu, kalau-kalau kejadian tak terduga terjadi pada Vienna.

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang