35 | Banyak Hal

882 64 0
                                    

"Terimakasih...," lirih Vienna.

Owen hanya tersenyum, mereka cukup canggung. Terlalu kaku hingga Jack hanya bisa menggeleng ketika melihat interaksi keduanya. Vienna hendak mengambil belanjaannya dari Owen, namun dia tidak membiarkan Vienna. 

"Kupikir ini pertemuan ketiga kita? Tapi aku merasa nona memang selalu berniat menjauhiku? Apa aku salah?" tiba-tiba Owen membuka percakapan. Dia melirik Vienna tampak diam, memikirkan jawaban apa yang tepat untuk membuat rasa penasaran Owen reda.  

"Aku tidak menjahui tuan Duke, mana mungkin aku berani melakukannya. Hanya saja, rasanya sedikit canggung jika bertemu orang yang jabatannya lebih tinggi dari kakak dan ayahku. Apalagi Duke cukup terkenal, jadi aku sedikit merasa berat jika bertemu dengan anda." Owen memberikan barang Vienna pada kusir kuda. 

"Aku pikir itu bukan sebuah jawaban? Tapi aku tidak akan mempermasalahkannya," Owen memberanikan diri menatap Vienna.

Vienna selalu cantik, seperti peri hutan yang kecantikannya tidak dimiliki oleh siapapun. Karena itu Owen selalu malu menatap Vienna, pasalnya dia semakin jatuh hati setiap kali dia melihat Vienna. 

"Apakah Yang Mulia bisa menunggu? Aku akan segera mengganti uang yang anda gunakan," Vienna hendak mengambil dompetnya, tapi Owen segera menggenggam pergelangan tangan Vienna. Dia masih belum puas melihat Vienna. Owen sangat menikmati perasaan itu. 

Kupu-kupu yang berterbangan di perutnya, debar jantung yang semakin cepat, panas dingin yang menegangkan. Apa semua orang yang jatuh cinta merasakan itu? Owen bahkan tidak bisa berhenti tersenyum. Padahal dia terkenal dingin dan bermuka tembok. Owen yakin dia bisa tersenyum sepanjang waktu asalkan Vienna ada di hadapannya. 

"Aku tidak ingin kau membalasnya dengan itu," ucap Owen memandang lembut netra cokelat Vienna. 

Vienna tahu, mata biru gelap milik Owen akan selalu menguncinya. "Lalu? apa yang anda inginkan Duke?" tanya Vienna. 

Owen mengedipkan matanya. Kejadian itu berlangsung cepat, tapi terlihat sangat lama bagi Vienna, bahkan menggoda Vienna untuk terpaku pada Owen. "Aku ingin kau mendampingiku untuk menghadiri acara pertunangan putra Mahkota, apakah kau bersedia?" 

Vienna ingat, mereka melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Owen meminta Vienna menjadi pasangannya agar mereka bisa saling mengenal lebih baik. Tapi acara itu tidak berjalan dengan baik dibenak Vienna. 

Orang-orang sibuk bertanya tentang pernikahan Xander dan Serena saat itu, karena berita tentang pernikahan mereka sudah tersebar. Vienna yang dulu, jelas menjawab dengan penuh semangat, karena dia akan segera memiliki ibu pengganti. Namun, sebagian bangsawan malah tidak menyukai Vienna. Mereka berkata bahwa Vienna tidak berterima kasih kepada Anasthasia karena telah melahirkannya. Memang, apa pun yang dilakukan oleh Vienna menjadi salah di mata umum.

Menyakitkan saat mengingat para bangsawan itu mencemooh Vienna, padahal seharusnya pesta itu penuh dengan kebahagiaan. Tapi mereka lebih fokus pada rumor di keluarga Drussel, sehingga Vienna merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk pulang lebih awal. 

Yang lebih menyakitkan, Owen sama sekali tidak menyadari kejadian itu. Dia hanya sibuk berbincang dengan para bangsawan lain dan terlihat mengabaikan Vienna. Dia bahkan membiarkan Vienna pulang sendirian. 

Vienna merasa kecut saat ingatan itu membuat hatinya diremas. Owen mungkin mencintainya sedalam lautan, tapi Owen tidak pernah ada disana saat Vienna membutuhkannya. Vienna melepas genggaman Owen, "maaf Yang Mulia, tapi anda tahu saya tidak menyukai keramaian. Jadi saya pikir, anda harus mencari pasangan yang lebih pantas dari saya." 

Vienna segera masuk ke dalam toko untuk mengambil dompetnya yang tertinggal. Dia segera mengganti uang Owen dengan senyum terpaksa. Owen tidak tahu, tapi rasanya sakit ketika Vienna memberikan penolakan padanya. 

"Terima kasih atas bantuan tuan Duke dan tuan Jack, saya sangat terbantu hari ini," Vienna menunduk hormat melebarkan gaunnya. 

Owen ingin tahu, mengapa terlihat sulit baginya untuk mendekat pada Vienna. "Kurasa nona bahkan tidak ingin menghabiska waktu yang panjang bersama saya?" tebak Owen. 

Vienna menghela nafas. Dia juga merasa tidak mudah dengan semua yang terjadi, "kupikir Yang Mulia memang benar, aku tidak ingin terlalu sering bertemu dengan anda, ataupun menghabiskan waktu lebih banyak dengan anda. Karena anda memaksa kakakku untuk tetap mengikuti perang meskipun saat itu dia sudah menolak." Vienna menatap netra Owen dengan berani. 

"Aku tahu permintaanku egois, namun aku sungguh tidak ingin melihat kakakku pergi ke medan perang lagi. Jadi kupikir aku memang tidak menyukai anda sebagai kapten kakakku, tapi aku tidak membenci anda sebagai seorang Duke," Vienna menunggu balasan dari Owen. Dia ingin tahu, apa respon yang akan diberikan Owen. 

"Aku mengerti, maaf." 

Vienna terdiam, dia tidak ingin mendengar respon yang sama. Owen selalu mengahadapi Vienna dengan kata 'aku tahu', 'aku mengerti', 'maaf', dan 'terima kasih'. Vienna bisa saja egois, menjalin hubungan yang sama dengan Owen. Tapi dia tidak bisa lagi menghabiskan waktu dengan Owen yang terlihat acuh. 

Tapi apa yang dia harapkan dari orang yang sama? Mau Owen mengingat kehidupan pertama saat mereka bersama, atau kehidupan saat ini. Owen tetaplah Owen.

"Kalau begitu aku permisi." 

***

Vienna menghapus air matanya karena rasa pedih di hatinya tidak segera membaik.

Padahal Vienna merasa baik-baik saja setiap kali di bertemu Serena, meskipun rasa dendam selalu menggerogoti Vienna. Tapi rasanya tidak sebanding dengan pedih yang Vienna rasakan setiap kali dia bertemu dengan Owen.

"Tidak, aku harus bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri." Berkali-kali Vienna selalu mengucapkan itu pada dirinya sendiri, tapi dia malah merasa semakin lemah selama dia terus menemui Owen.

Ketika tiba di depan butik, Vienna segera menghapus kasar bekas air matanya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya pada siapapun.

"Nona! Kenapa anda tidak membangunkan saya," seru Abigail mengangkat barang-barang belanjaan Vienna.

Sementara Vienna hanya melengos masuk ke dalam butik tanpa banyak berbicara.

Abigail memukul punggung yang sakit akibat tidur di sofa. "Apakah barang ini ingin di angkut ke atas nona?" tanya Abigail dan Vienna hanya tersenyum kecil.

Abigail pikir senyum itu janggal dan menyakitkan. Ada yang salah dan Abigail langsung menyadarinya. Dia segera memegang pundak Vienna, menatap Vienna dengan intens "nona ada apa? Apakah ada yang mengganggu anda saat berbelanja?" tanya Abigail khawatir.

Sejak Abigail tiba di Drugsentham, tidak sekalipun dia pernah melihat Vienna lemah. Dia selalu terlihat tangguh, bersinar, penuh ide, dan bersemangat. Abigail bahkan sampai mengidolakan Vienna karena dia terlihat sangat kuat. Namun apa yang sedang Abigail lihat saat ini?

Vienna habis menangis, dan dia terlihat rapuh.

Sial! Sial! Padahal Vienna tidak ingin menunjukkan kelemahannya pada siapapun, tidak seorang pun. Tapi Abigial, gadis itu. Dia berhasil membuat seluruh pertahanan Vienna runtuh.

"Apakah anda tidak berniat membagikan nya pada saya?" Vienna mengangguk meski dia terlihat menahan tangis.

Abigail ragu, namun dia segera merengkuh Vienna kedalam pelukannya. "Kalau begitu tidak apa-apa, anda tidak perlu menceritakannya nona."

Vienna sungguh menangis bodoh di bahu kecil Abigail. Vienna tahu di sedang mengalihkan kebenarannya. Owen tidak pernah ada untuknya, meskipun Vienna terus berdoa pada ribuan bintang untuk pria itu.

Apakah dia mencintai Owen? Apakah mencintai berbahaya seperti ini?

Vienna masih harus mengorek informasi tentang Serena, menyelesaikan hal janggal yang terjadi di rumahnya, tapi dia malah sibuk terombang-ambing dengan cinta bodoh seperti perahu tak berawak.

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang