26 | Berjalan Cepat ⚠️

1.2K 75 0
                                    

Sejak tiba di Drugsentham, Vienna menjadi sangat sibuk dari sebelumnya. Pagi hari dia habiskan dengan merancang pakaian-pakaian yang akan di pajang untuk pembukaan butik. Ketika siang, Vienna akan pergi untuk melihat perkembangan renovasi. Malamnya dia akan menyibukkan diri untuk mencari referensi dan trend mode yang sedang panas di bicarakan oleh para bangsawan.

Vienna bisa mendapatkan semua kemudahan ini karena dia adalah anak dari Marquiss. Tapi bantuan itu tidak akan cukup untuk mempromosikan produk mereka. Apalagi sudah satu tahun berlalu sejak butik Glory milik Anasthasia tutup secara permanen. Vienna perlu memulai semuanya dari awal.

Setelah dua hari kepulangan Vienna, Forren kembali ke Drugsentham dengan membawa seorang gadis untuk bekerja di mansion. Namun Forren harus segera pergi ke akademik dan akan pulang setiap akhir pekan. Karena usia gadis itu tidak terpaut jauh dengan Vienna, akhirnya dia dibiarkan bekerja untuk melayani keperluan Vienna.

"Nona, apakah anda belum tidur?" Abigail memegang lentera saat dia melihat Vienna masih sibuk membaca di dalam kamar.

"Belum, apakah aku membuatmu terganggu?" Vienna menutup buku dan mendekat pada Abigail.

"Tidak mungkin saya berani berkata seperti itu, nona."

Untuk beberapa alasan tidak masuk akal, Forren menempatkan kamar Abigail pada bangunan utama. Vienna awalnya berpikir mungkin sudah tidak ada lagi ruangan kosong di bangunan para pelayan. Tetapi Forren berbohong dan memohon Vienna merahasiakan hal ini.

Dia cukup mengerti saat Forren menjelaskan keadaan Abigail. Vienna tidak mungkin jahat pada gadis malang seperti Abigail.

Abigail cantik, dia punya kulit putih pucat dengan rambut cokelat lurus dan mata abu-abu. Vienna sampai mengira Forren membawa calon kakak ipar ketika dia pulang. disamping itu, Vienna juga bersyukur Forren pulang dalam keadaan baik, tidak seperti saat Forren pulang dengan berlumuran darah dan lebam-lebam di sekujur tubuh.

Meskipun Vienna sadar betul, Forren membawa terlalu banyak perbedaan dengan kehidupan sebelumnya. Variabel baru membuat Vienna yakin takdir perlahan-lahan berubah berkat usahanya.

Vienna sempat menanyakan tentang perang pada Forren, namun dia tidak tertarik menjawab pertanyaan Vienna. Melihat kondisi Forren saat itu, Vienna hanya beranggapan tidak ada hal buruk yang terjadi. Forren mungkin hanya penat dan enggan untuk berbicara karena stress.

Jadi percakapan mereka berakhir disitu.

"Ah yah, jika itu membuatmu terganggu beritahu aku. Kalau begitu apa yang membuatmu terjaga di tengah malam?" Vienna memandang Abigail dengan intens, memastikan tidak ada yang salah padanya.

Abigail menggeleng sebagai jawaban, "aku hanya haus nona." Abigail menunjukkan gelas kosong pada Vienna.

Abigail terlalu rapuh untuk Vienna, dia sampai takut membuat Abigail menangis karena hal-hal sederhana. Entah mengapa Vienna yakin Forren akan marah jika dia tidak sengaja membuat Abigail menangis.

"Baiklah, kau harus kembali beristirahat karena besok kita harus mengelilingi pasar untuk mencari pernak pernik, kau tidak keberatan membantuku 'kan?"

"Tentu nona, kalau begitu selamat malam." Abigail menutup hati-hati pintu kamar Vienna, kemudian berlalu pergi meninggalkan keheningan di kamar Vienna.

Vienna duduk di depan meja belajarnya dan membuka laci berisikan tumpukan surat undangan.

Berbagai surat undangan datang sekaligus ketika kabar Vienna telah kembali terdengar dari mulut ke mulut. Sebagian dari isi undangan memuji-muji Vienna, sebagian lagi menanyakan kabar, sisanya berusaha menjilat.

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang