48 | Bersandarlah

685 54 0
                                    

Vienna menggeleng, pipinya merah padam dan terasa panas. Mungkin karena dia terlalu banyak meminum alkohol.

Yah! Pasti karena alkohol! batin Vienna meyakinkan diri.

Namun, kepingan memori tadi terlintas lagi di kepalanya. Ingatan ketika Owen menyapa Vienna dari atas beranda. Bagaimana mungkin Vienna seyakin itu? Mungkin saja Owen menyapa orang lain, dan Vienna hanya salah mengira.

Tapi..., tetap saja itu...

"memalukan!" ucap Vienna yang kemudian berjongkok memeluk kedua lututnya. Vienna berusaha menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah seperti kepiting rebus.

"Apa itu hal yang memalukan?" Vienna segera berdiri ketika suara dari belakang punggungnya kian mendekat. Vienna berbalik ke sumber suara, sontak segera memberi hormat kepada putri Sephia.

"Maafkan saya Yang Mulia Putri, karena tidak menyadari keberadaan anda," Sephia tertawa kecil.

"Tidak apa-apa. Jadi, apakah itu yang hal memalukan?" tanya Sephia lagi, dia lebih penasaran dengan kata 'memalukan' yang tidak sengaja terlontar oleh Vienna.

"Ah..., tidak ada Yang Mulia Putri, sepertinya saya cukup melantur," Vienna mengelus belakang lehernya dengan kikuk. Dia tidak mungkin menceritakan kejadian yang barusan terjadi kepada Sephia.

Sephia melirik dengan curiga. "Baiklah, kali ini kau lepas dari pengawasanku." Sephia memilih mengalah. Lagipula, sepertinya Sephia sudah tahu apa yang terjadi tadi.

"Lama tidak bertemu, bagiamana kabar nona Vienna?" tanya Sephia sambil menggenggam segelas wine anggur merah.

"Saya dalam keadaan baik, Yang Mulia Putri. Semoga keadaan anda sama baiknya dengan saya." Vienna merasa lebih baik berkat kehadiran Sephia. Forren dan Xander pergi entah kemana, dan Vienna tidak mengenal orang-orang yang hadir. Jadi Sephia sudah seperti sosok penyelamat baginya.

Sebenarnya, Vienna cukup takut gadis-gadis yang sebelumnya sudah memesan gaun akan batal memesan karena kasus kematian Feby. Namun kemudian, Sephia tetap memesan bahkan membayar rancangan gaunnya di muka.

Gadis-gadis bangsawan juga punya harga diri. Kalau putri kerajaan saja masih memesan, mereka akan merasa terinjak jika segera menarik pesanan mereka. Semuanya berlomba-lomba untuk bisa dekat dengan Sephia, mereka akan melakukan apapun agar bisa terlihat mirip dengan Sephia.

Vienna bersyukur bisa memiliki hubungan yang baik dengan Sephia. Mungkin, seharusnya seperti inikah rasanya memiliki teman.

"Putri tampak cantik dengan gaun merah muda ini, lebih cantik dari kecantikan yang biasanya." Puji Vienna disela obrolan mereka.

"Terima kasih atas pujiannya," Sephia tersenyum hangat. Dia menerima pujian itu tanpa berat hati. "Vienna, apa kamu mengingat janjiku?"

Vienna mengerutkan keningnya, "maafkan saya, apakah Yang Mulia Putri pernah membuat janji kepada saya?"

Sephia mengelus punggung tangan Vienna dan meletakkan rum dan anggur yang sedari tadi mereka minum. "Ayo, aku ingin memperkenalkan kamu dengan gadis-gadis yang lain." Vienna ber-oh-ria, ternyata Sephia ingin memperkenalkan Vienna kepada yang lainnya.

"Kalau begitu, saya tidak akan menolak Yang Mulia Putri."

Sephia dan Vienna bergabung dengan gadis-gadis yang seumuran dengan mereka. Awalnya Vienna cukup kikuk, tapi Sephia membantunya mencari topik. Vienna sungguh berterima kasih kepada Sephia, mungkin dia akan menghadiahkan perhiasan cantik dari Mytilus untuk Sephia.

***

"Wah, aku akan berkunjung jika butikmu sudah buka,"

"Tentu, saya akan menyambut nona dengan baik di butik saya nanti." Vienna sedikit merasa lelah mengimbangi percakapan mereka, tapi dia cukup bahagia karena sudah lama sejak dia bisa berbincang banyak dengan orang lain.

Dari arah singgasana Raja, terdengar seruan prajurit. Raja membuka acara dengan pidato dan mempersilahkan Forren untuk tampil di depan para hadirin. Beberapa wanita terlihat malu-malu ketika Forren muncul dihadapan publik. Vienna hanya menduga, mungkin mereka menyimpan perasaan kepada Forren.

"Sayang sekali, dia tidak akan melanjutkan karir prajuritnya." Vienna mendengar bisikan itu, ternyata salah satu teman seperjuangan Forren. Vienna lupa siapa nama pria itu, apakah Leo?

"Diam-lah, Aku rasa ini lebih baik. Jika Forren terus berada di pasukan, aku tidak tahu akan sehancur apa tangannya nanti."

Deg!

"Apa yang baru saja kamu bilang?" Vienna menatap Yordan dengan tanda tanya. Kalau dipikir-pikir, Vienna juga sudah lama tidak melihat Forren berlatih pedang.

Apakah dia melewatkan sesuatu lagi?

"Ah, lihat lah ulahmu Leo...," Yordan mengusap tengkuknya. Padahal dia tidak ingin membahas hal ini di hadapan adik Forren.

"Kamu bilang tadi, tangan kakakku 'kan? Ada apa dengan tangannya? Tolong katakan padaku." Debar jantung Vienna kian berpacu menatap Yordan dan Leo.

"Apakah Forren tidak bercerita!?" Vienna menggeleng. Dia yakin Forren tidak pernah bercerita tentang apapun mengenai perang hari itu.

"Katakan padaku, kumohon," pinta Vienna dengan raut wajah sedih. Tangannya sudah berkeringat dingin.

Leo menghela nafas, "Saat kami melakukan misi penting di pertempuran, Forren mengalami luka yang cukup parah di lengan kanannya. Dia terkena anak panah, dan nyawanya nyaris tidak selamat jika penyihir tidak segera datang...,"

Vienna tidak lagi mempedulikan Leo dan Yordan. Matanya terfokus melihat Forren yang sedang menerima berkat dari raja. Air mata menumpuk di pelupuk matanya.

Kalau begitu, tidak ada yang berubah. Semuanya masih ...,

"Kau kelihatan parah, Vienna." Telapak tangan seorang pria menutupi mata Vienna. Akan tetapi, Vienna hanya terus menangis meratapi takdir yang akan datang. Vienna tahu siapa pria ini, tapi dia bahkan tidak sanggup berkata apapun lagi. Timothy senantiasa menutupi wajah Vienna dengan tangannya.

Sepanjang tangisan Vienna, Timothy hanya berdiri disana menutupi wajah Vienna. Orang-orang tampak bingung dengan tangisan Vienna, tapi tidak ada yang berani mendekat karena ada Timothy disana.

"Menangis lah sebanyak yang kau mau, aku jamin tidak akan ada yang berani mengusik mu." Vienna menggenggam erat gaun yang dia kenakan,

"terima..., kasih."

Setelah Forren mendapatkan berkat dan resmi melepas gelar pasukan Elangnya, dia berbalik ke arah hadirin dan melihat Vienna menangis. Ketika itulah dia sadar, Vienna telah tahu semuanya.

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang