EC 1 | Baik-baik saja

1K 36 6
                                    

Extra Chapter 1 | Baik-baik saja
.
.
.

Semoga yang ditinggalkan, dapat menjalani hidup dengan baik. Mereka sudah tenang disana, menangislah sejenak, bersedihlah sejenak, lalu jalani hidup. Miliki keberanian dan yakinlah hari esok akan lebih baik lagi.

.
.
.

"Nona Vienna, apakah anda sudah siap?" Dorothy mengetuk pintu kamar Vienna, karena sebentar lagi mereka harus berangkat menuju aula gereja dan kereta kuda sudah bersiap menunggu kedatangan Vienna di depan pagar utama.

Namun, tidak ada jawaban dari dalam ruangan. Dorothy yang merasa cemas pun akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Vienna tanpa izin. Ketika ia masuk, ia mendapati Vienna sudah rapi mengenakan gaun hitam dengan riasan yang sangat tipis, duduk termenung di depan cermin memandangi bayangan dirinya sendiri. "Nona? Apa anda baik-baik saja?" Tanya Dorothy penuh kekhawatiran.

Vienna tersenyum dari balik cermin, mendapati Dorothy berdiri di ujung daun pintu. "Tunggu sebentar saja, aku merasa ada yang kurang dari penampilanku."

Sejak tadi, pikiran Vienna terus melayang saat ia masih kecil, ketika Anasthasia masih hidup dan keluarga mereka penuh dengan kebahagiaan. Hari itu, tangan lembut Anasthasia menyisir rambut merah Vienna dengan melantunkan lagu 'Clementine'. Vienna selalu mendapatkan pujian dari orang-orang, tentang penampilannya yang cantik. Orang-orang menjulukinya sebagai peri yang turun dari langit. Waktu kecil, Vienna sangat menyukai pujian itu. Sekarang dia justru membencinya.

Peri selalu membawa keberuntungan untuk banyak orang, kemana pun ia bersinggah, akan menjadi berkat bagi seseorang. Akan tetapi, peri tidak bisa memberikan keberuntungan untuk dirinya sendiri. Tidak ada cerita tentang peri yang bahagia, hanya ada kisah peri yang membantu seorang putri dan peri yang membahagiakan banyak orang.

Kalau peri bersedih, siapa yang bisa membujuk peri?

Vienna melirik belati yang ada di atas meja riasnya. Belati itu adalah alat yang digunakan Serena untuk membunuh Xander. Dia mengambil belati tersebut, menggenggamnya dengan penuh penyesalan.

Shrak~

Mata Dorothy membulat ketika Vienna berhasil memotong rambut panjangnya menjadi sebahu dengan belati tersebut.

"Sekarang lebih baik," gumam Vienna menatap pantulan diri. Senyuman kecil terbit di wajahnya yang kaku, berusaha menghibur dirinya sendiri. "Mari, kita berangkat."

***

Forren bersandar di daun pintu aula, menunggu kedatangan Vienna dengan sabar meski para pendeta dan penyihir sudah menyuruhnya masuk agar ritual segera dilaksanakan.

"Tuan Muda, kita tidak bisa menunggu nona Vienna lebih lama lagi. Kasihan para pendeta dan tamu-tamu penting sudah menunggu sejak...," ucapan Calvin segera di potong oleh Forren tanpa rasa bersalah.

"Tunggu." Forren tidak ingin dibantah dan dia tahu Vienna pasti akan datang.

Lebih dari siapapun, Forren merasa paling bersalah terhadap adik kecilnya itu. Keadaan Vienna luar biasa hancur ketika ia melihat Xander sudah tak bernyawa di pelukan Vienna. Ia pikir Vienna akan menangis meraung-raung seperti saat mereka kehilangan Anasthasia, akan lebih baik jika itu yang terjadi. Kenyataannya Vienna lebih hancur dari yang Forren kira. Orang-orang mengatakan Vienna hanya berusaha tegar, tapi Forren tahu, hati Vienna telah hancur berkeping-keping.

Sehancur apa? Forren tidak tahu.

Yang jelas, ia hanya ingin Vienna-nya, kembali seperti dulu.

Forren terkesiap ketika melihat kereta kuda Vienna telah sampai di aula. Ia segera berjalan cepat untuk menyambut kedatangan Vienna dan membuka pintu untuknya. Pupil matanya membesar, ia mematung ketika mendapati penampilan baru Vienna dengan rambut pendeknya. Namun, ia tetap membantu Vienna untuk turun dari kereta kuda.

Girl with Red Hair (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang