Sepuluh

1 3 0
                                    

Kalian ingat saat Laras meminta nomer ponsel Adi. Dia benar-benar menghubungi Adi setelah aku memberikan nomer ponselnya. Jujur saja, sebenarnya aku masih penasaran sampai sekarang bagaimana Laras mengenal Adi. Tapi sudahlah, aku tidak perlu terlalu tau urusan Laras.

Makin hari Laras dan Adi semakin dekat. Bahkan hari minggu yang biasa aku habiskan bersama Adi kini terganti oleh Laras. Aku tidak marah, hanya sedikit kesal. Tapi bukan dengan Laras aku kesal melainkan dengan Adi. Cowok itu sekarang jarang sekali menghubungiku. Padahal biasanya Adi selalu bertukar kabar denganku. Sekedar menanyakan kabar.

"YUNA!!!"

Aku menoleh. Laras menghampiri ku sambil berlari. Setelah berada di depanku, dia diam sebentar. Menetralkan deru nafasnya sebentar. Aku hanya diam sambil menunggu Laras.

"Gue sama Adi pacaran," ujar Laras.

"Oh." Aku kembali melanjutkan jalan. Laras menatapku bingung kemudian mengikuti langkahku agar kami sejajar.

"Kok cuma oh," protes Laras.

"Terus aku harus gimana Ras."

"Ya ucapin selamat kek, kan gue pacaran sama temen lo."

"Selamat ya."

Laras tersenyum, tangannya sengaja merangkul ku. Sepanjang koridor menuju kelas Laras membiarkan ku seperti ini. Entah kenapa secara tiba-tiba aku kehilangan mood. Bukan karena aku cemburu perihal Laras pacaran dengan Adi. Tapi lebih ke perasaan kesal. Pantas saja Adi selalu mengabaikan ku. Ternyata sudah ada pawangnya.

Sejujurnya sikap Adi yang mengabaikan ku akhir-akhir ini kembali membuatku ingat saat sekolah dasar dulu. Saat dimana teman-teman ku menghindar hanya karena permasalahan cowok. Aku takut setelah Adi berpacaran justru membuatku jauh. Selama ini Adi adalah teman yang selalu ada untuk ku meskipun kami beda sekolah.

"Pagi pagi udah murung aja."

Aku dan Laras menoleh, menatap sumber suara. Kak Rangga mendekat sambil tersenyum kearah kami. Melihat itu, aku pun ikut tersenyum. Raut wajah yang tadinya murung seketika hilang bersamaan kak Rangga datang. Tanpa ku sadari, Laras memperhatikan gelagatku.

"Gak ada yang murung kok," Aku menjawab seceria mungkin.

"Iya percaya. Oh iya lo sekelas sama Naya kan. Ini ada surat izin, Naya gak masuk hari ini," ucap kak Rangga.

Aku menerimanya sambil menatap bingung, "Dia sakit? kok bisa kak Rangga yang ngasih?"

"Iya dia sakit. Kebetulan Rumah gue masih satu komplek sama Naya. Udah dulu ya, gue harus ke kelas."

Aku mengangguk. Tatapan mataku masih belum terlepas dari sosok ketua OSIS itu. Dalam hati aku membatin, kenapa selama main ke rumah Naya, aku sama sekali tidak tau fakta itu. Bagaimana jika kak Rangga melihat ku dalam keadaan lusuh karena sudah sore. Agh, tidak tahu. Aku malu sendiri jika mengingat itu.

"Lo suka sama kak Rangga ya?" tanya Laras.

Aku tersentak kaget sementara cewek itu tersenyum. Aku tidak tau maksud dari senyuman Laras tapi aku yakin dia akan menggoda ku nanti, "cie udah mulai suka."

"Apaan sih gak jelas. Udah ayo ke kelas."

Laras tertawa keras, "gimana ya kalau Adi tau, diakan selama ini nganggep lo anak kecil," ujar Laras.

Aku memutar mata malas. Pasti hal ini akan menjadi ejekan kedepannya oleh Laras. Berdoa saja dia tidak memberitahu yang lain. Tanpa menunggu Laras, aku berjalan lebih dulu. Meninggalkan Laras yang masih tertawa di Koridor.

***

Hampir satu bulan hubungan Adi dan Laras terjalin. Beberapa temanku di kelas tau tentang hubungan mereka, hanya saja fakta aku dan Adi dekat tidak ada yang tau selain Laras dan Angga. Ingatkan saat itu Angga melihatku joging bersama Adi.

Semakin kesini hubungan aku dan Adi pun semakin jauh. Tidak ada lagi orang yang mengirimiku pesan menyebalkan. Setiap aku membuka ponsel hanya ada pesan dari mama, ayah dan kak Noval.

Ternyata memang benar, sebuah hubungan teman akan hancur ketika ikatan percintaan datang. Sekarang aku benar-benar merasakan kehilangan seorang teman seperti saat aku SD dulu. Kehilangan Jessica dan Nara.

Aku tidak berani mendekati Adi, takut Laras salah paham atau cemburu. Aku tidak ingin pertemanan kami yang rusak nantinya saat aku memaksakan diri agar tetap dekat dengan Adi.

Aku menghela nafas pelan. Mataku melirik ponsel sebentar, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk keluar kelas. Entahlah, aku merasa bosan di kelas. Padahal jelas-jelas Tanti mengajak ku berbicara.

Sebelum pergi, aku melirik tempat Naya. Sejak istirahat aku belum melihatnya lagi. Mungkin dia sedang di perpus sekarang, lebih baik aku menghampirinya.

"Mau kemana?" tanya Tanti.

"Perpus. Mau ikut?" tanyaku.

"Gak deh, gue disini aja bareng Laras." Aku mengangguk, kemudian bangkit dari tempat duduk.

"Yuna sering banget ke perpus sekarang," ujar Tanti.

"Mungkin mau cuci mata," jawab Laras sambil tersenyum.

Aku memutar bola mataku malas. Ucapan Tanti samar-samar masih terdengar di telingaku. Tapi siapa peduli, toh Laras pasti tidak akan memberi tau pada Tanti. Mengingat bagaimana sikap Laras, aku yakin dia tidak akan memberitahu pada siapapun termasuk Adi.

Seperti dugaan ku, Naya memang ada di perpustakaan. Namun melihat itu bukannya membuatku mendekat justru membuatku menghentikan langkah. Di sana aku melihat kak Rangga, duduk di samping Naya sambil memegang kedua tangannya. Cepat-cepat aku bersembunyi, tidak mau sampai dua orang itu menyadari keberadaan ku.

Mungkin terdengar tidak sopan, tapi aku harus mendengar percakapan mereka berdua. Jarak aku dan mereka tidak terlalu jauh, sehingga aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka. Bersyukur mereka duduk di dekat rak buku sehingga aku dapat mendengarnya sangat jelas, mengingat aku sendiri bersembunyi di balik rak buku itu.

"Na, lo taukan gue suka sama lo. Kenapa lo selalu ngehindar bahkan disaat gue berusaha dekatin lo," ucap Rangga.

"Bisa lepasin tangan lo. Gue gak mau ada orang yang liat terus salah paham," ujar Naya.

"Siapa yang bakal salah paham. Gak ada, orang-orang juga tau gue suka sama lo Nay."

"Yuna, gue gak mau bikin dia salah paham."

"Kenapa emang kalo Yuna salah paham. Lagian gue sama dia gak ada hubungan apa-apa."

"Dia suka sama lo kak."

"Tapi gue gak suka sama dia. Gue sukanya sama lo. Apa gak bisa kita pacaran."

Perlahan aku menjauh. Aku tidak ingin mendengar jawaban Naya dan aku tidak ingin mendengar percakapan mereka lebih jauh. Jujur, mendengar itu saja membuat dada ku sesak. Aku tidak tau tapi rasanya sakit sekali.

Secara perlahan aku menjauh dari perpustakaan. Aku tidak ingin mereka sadar akan keberadaan ku di sana. Karena terlalu fokus untuk pergi, aku sampai tak sadar ada seseorang yang ingin masuk kedalam perpustakaan. Sehingga terjadilah hal tak terduga. Aku menabrak seseorang, entah itu siapa aku tidak tau.

"Maaf aku gak sengaja," ujarku masih dalam keadaan menunduk.

Aku menyempatkan sebentar untuk melihat orang yang sudah ku tabrak. Tapi tidak lama, sebelum akhirnya aku memutuskan pergi dari sana. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini sebelum kak Rangga dan Naya sadar.

My Teenage Years {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang