"Lo deket sama Angga apa gimana? Perasan tuh cowok ke lo lembut banget, beda pas lagi ngobrol sama kita-kita," ujar Meta.
Sekarang kami berempat sedang berada di kelas. Hari ini lebih banyak jam kos dari pada waktu belajar. Entahlah aku sendiri tidak tau kenapa banyak guru yang absen.
Aku memandang Meta sambil menggeleng. Aku sungguh tidak tau alasan kenapa Angga seperti itu padaku dan kenapa juga Meta menanyakan soal Angga padaku.
"Gue rasa dia suka sama lo." Kali ini Dania menyaut membuat Yena dan Meta menatap kearahku.
"Gimana bisa kamu nyimpulin hal kayak gitu. Aku sama Angga sekelas sebelumnya, mungkin karena itu dia sedikit lembut," ucapku.
"Bisa jadi juga sih," Meta membenarkan ucapanku.
"Yuna, lo bisa gak sih berhenti bilang aku kamuan. Gak enak banget di dengernya," celetuk Yena.
"Kan aku udah biasa pake aku kamuan, kenapa jadi di permasalahin sih."
"Ya makanya lo biasain pake gue lo jangan cuma pake aku kamuan aja."
Aku menghela nafas, rasanya sangat berbeda dengan teman kelas satu ku. Di saat mereka membebaskan ku berucap sesuai kenyamanan, di sini aku justru harus mengikuti mereka dengan sedikit paksaan. Apakah salah menggunakan bahasa yang membuatku nyaman.
"Dahlah mending sekarang ke kantin, mumpung jam kos juga," ujar Dania.
"Emang gak bakal di liat guru?" tanyaku.
"Lo mau ikut gak? Kita bertiga mah udah biasa kek gini. Kalo mau ikut ayo, enggak ikut yaudah." Lagi-lagi Yena berucap, membuatku kesal bukan main.
"Kalian aja, aku mau ke perpus aja."
"Buat apa sih ke perpus mulu, dah lah ayo kita ke kantin aja," celetuk Yena.
Aku ikut melangkah bersama mereka. Sama-sama keluar kelas, namun dengan tujuan yang berbeda. Di depan pintu kelas, Angga terlihat ingin masuk ke dalam. Tatapan mata kami bertemu sampai akhirnya cowok itu menyunggingkan senyuman padaku.
"Cie yang di senyumin Angga. Makin curiga gue sama lo Na."
"Apaan sih Meta, aku gak ada hubungan apa-apa sama dia. Dah sana kalian ke kantin."
Aku tau Yena menatapku tak suka. Entahlah aku sendiri tidak tau kenapa dia seperti itu padaku. Padahal sebelumnya sudah aku katakan, Angga dekat denganku karena kami berada di kelas yang sama sebelumnya. Tapi aku rasa Yena tidak suka dengan kedekatan ku dan Angga. Itulah alasan kenapa akhir-akhir ini aku sering menjaga jarak dengan Angga, meskipun aku sendiri tidak ingin sebenarnya.
"Yah di tempatin lagi," keluh ku.
Begitu sampai perpustakaan, aku melihat tempat favorit ku telah di tempati orang lain dan tentunya orang yang sama seperti kemarin.
Sejujurnya aku ragu untuk mendekat kearahnya mengingat hari ini dia tidak menawarkan seperti kemarin. Tapi aku harus apa, hanya itu tempat yang membuatku nyaman dan tenang.
"Lo kesini cuma mau bolos apa emang pengen baca?"
Aku menoleh, seseorang di sebelah ku berucap tanpa mengalihkan perhatiannya, tetap berfokus pada buku di tangannya.
"Aku lagi jam kos. Kamu sendiri ngapain di sini, mana kalo duduk di tempat ini terus lagi. Udah tau ini tempat favorit aku," jawabku.
"Masih banyak tempat duduk di sini. Lo bisa kan duduk di tempat lain dan gak harus di sini."
"Ya gak bisalah dari kelas satu aku selalu dateng ke perpus buat duduk di sini sambil baca buku. Kamu yang tiba-tiba sering ke perpus terus nempatin tempat favorit orang. Lagian dulu juga kamu jarang ke sini kan, kenapa tiba-tiba jadi sering ke sini."
"Lo sering merhatiin gue?" tanya orang itu.
"Enggak lah ngapain juga. Maksud aku, sebelumnya aku jarang liat kamu di perpus, terus kenapa pas di kelas dua tiba-tiba kamu sering ke sini."
"Gue males di kelas. Lo bisa duduk di sebelah gue kalo mau dan maaf, gue gak tau kalo ini tempat langganan lo di perpus."
"Jujur aja kamu duduk di sini karena nyaman kan, soalnya aku juga ngerasa gitu."
Aku mulai duduk di sebelah Raihan sambil membuka buku novel yang sedang ku baca.
"Oh iya nama kamu siapa? Kita sering ketemu tapi aku sampe sekarang gak tau nama kamu."
Bohong, aku tau nama kamu siapa. Itu hanya sekedar basa basi agar tidak terlalu canggung jika bertemu dengannya lagi.
"Gue Raihan."
"Kamu gak mau nanyain nama aku?"
Bodoh, Yuna kenapa kamu harus nanyain hal yang gak penting gitu.
"Gak perlu gue udah tau nama lo," jawab Raihan.
"Tau dari mana nama ku."
"Nametag seragam lo."
"Oh iya."
Aku terkekeh pelan. Rasanya malu sekali. Sudahlah lebih baik aku fokus membaca dari pada memikirkan hal yang malah membuatku malu.
***
"Yuna!!!"
Aku menoleh, Laras lari menuju kearah ku. Membuat tanda tanya dalam benakku. Sudah hampir sebulan ini kami jarang mengobrol, jadi sedikit aneh Laras menghampiriku. Bisa ku lihat dia sangat kelelahan. Apakah karena mengejar ku?
"Gue pulang bareng lo ya," ujar Laras.
"Rumah kita beda jalur Ras."
"Iya gue tau, gue mau ke rumah Adi. Dia sakit makanya gue berencana jenguk dia."
"Dia sakit?" Sekarang justru aku yang bertanya.
"Lo gak tau Adi sakit. Jangan bilang lo masih diem-dieman sama Adi soal hari itu. Na, kan udah gue bilang, itu murni gue yang kasih ide ke Adi buat ngajak lo main hari itu."
"Kamu mau pulang bareng kan. Kalo gitu ayo."
Aku tidak ingin membahas ini. Sejujurnya masih ada kekesalan saat aku ingat kejadian itu.
Aku dan Laras mulai menjauh dari area sekolah. Sampai akhirnya mataku bertemu sosok Raihan, menunggu kedatangan angkot.
Sebenarnya aku heran, dia bisa saja naik bis tapi kenapa memilih untuk naik angkot. Aku sedikit salut padanya, di saat cowok lain memilih naik motor atau bis, Raihan justru terang-terangan memilih naik Angkot, bahkan terlihat biasa saja tanpa ada rasa sungkan atau malu.
Namun setelah melihat cewek di sebelah Raihan aku agak berfikir. Siapa itu? Apa itu pacarnya.
"Heran gue sama dia."
Aku melirik Laras, "maksud kamu?"
"Dia Veira temen sekelas gue. Secara garis besarnya gue gak tau ada hubungan apa sama mereka, tapi yang pasti gue sering liat dia ngedeketin Raihan."
"Kamu sekelas sama Raihan?" tanyaku.
"Iya, kok lo bisa kenal dia."
"Aku ketemu dia beberapa kali di perpus."
"Oh ternyata Raihan pergi ke perpus. Pantesan beberapa hari ini dia sering banget ngilang dari kelas. Dah lah yuk jalan takut keburu sore. Oh iya, lo harus ikut juga Yuna. Selesain masalah lo sama Adi, gue gak mau ya persahabatan kalian ancur gara-gara gue."
"Apaan sih Ras, siapa juga yang marahan."
Aku berjalan lebih dulu, meninggalkan Laras tanpa mempedulikan teriakannya.
Raihan menoleh ke arahku, menatapku dengan raut datarnya. Bisa ku tebak itu pasti karena teriakan Laras. Untuk raut wajahnya, aku tidak terlalu mempermasalahkan itu mengingat Raihan memang selalu memasang wajah datarnya, jadi aku tidak perlu berfikir dia terganggu dengan Laras karena memanggil namaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Teenage Years {END}
Ficção AdolescenteAkan banyak peristiwa yang terjadi di saat masa remaja. Susah, senang maupun urusan hati. Konflik yang mungkin akan terus bermunculan sehingga karakter pendewasaan terbentuk. Beberapa hal manis mungkin juga bisa terjadi di masa ini, seperti percint...