Dua Puluh Sembilan

1 3 0
                                    

Dua hari sudah berlalu dan besok waktunya pulang. Malam ini akan di adakan api unggun, tapi sebelum itu semua murid di tugaskan untuk mencari kayu bakar. Kebetulan untuk yang satu ini semua murid di bebaskan mencari dengan siapapun bahkan dari beda kelas sekali pun. Alhasil aku, Laras, Tanti, Alya, Sania, Naya, Raihan, Dika dan Angga pun mencari bersama.

Jujur, aku sempat kaget Angga gabung bersama. Dia datang bersama Dika dan Raihan. Aku tidak hak untuk melarang jadi ku biarkan mereka bergabung.

"Kalian kenapa gak gabung sama cowok-cowok nya aja sih?" tanya Sania.

"Kalo kita gabung sama cowoknya yang ada bukannya nyari malah main. Lo tau sendiri gimana hukuman kalo sampe gak dapet kayu. Kalau pun kita gak dapet pas bareng kalian, gue yakin kalian pasti ngasih punya kalian," ucap Dika.

"Maunya lo itu mah," protes Alya.

Aku menjauh dari mereka selagi mereka asik mengobrol. Rasanya masih sedikit canggung di dekat Angga dan aku sendiri tidak tau itu. Laras fokus bersama Tanti, jadi aku rasa dia juga tidak akan sadar aku menjauh dari mereka.

Aku tersenyum saat melihat banyak ranting-ranting kering. Tanpa hati-hati aku menarik ranting itu. Mungkin terlalu kencang atau bagaimana, ranting-ranting yang ku tarik justru mengenai tanganku. Saat menariknya tadi rasanya sedikit sulit, mungkin karena posisinya saling tumpuk menumpuk.

Aku meringis begitu lenganku berdarah akibat goresan ranting itu. Dalam hitungan detik aku tertegun, Raihan menarik ranting itu untuk ku. Dia tidak berbicara apapun atau sekedar mengeluarkan suara. Setelah banyak ranting yang di pisahkan barulah cowok itu berjalan menghampiriku. Menarik lenganku yang luka itu untuk di lihat.

"Pas sampe tenda langsung di cuci pake air bersih aja ini, kalo bisa kasih obat merah...."

"...lagian kenapa malah misah dari rombongan sih."

Aku mendengus kesal, lama-lama sifat Raihan kayak Adi. Selalu seperti ini saat aku ceroboh. Raihan benar-benar membuka diri untuk jadi temanku. Aku melihat Raihan yang sekarang berbeda dengan Raihan yang ku liat pertama kali, jauh sebelum kita menjadi teman. Kalau seperti ini aku jadi merasa Adi sedang mengawasi ku tetapi dalam wujud Raihan. Rasanya aneh tapi lucu, membayangkannya saja membuat ku tertawa kecil.

"Kenapa malah ketawa?"

Aku menggeleng pelan. Bisa-bisa di bilang gila jika aku memberitahu isi pikiranku saat ini.

"Lo langsung ke tenda aja, obatin tuh lukanya. Ranting lo biar gue yang bawain," ujar Raihan.

"Tapi nanti pas di tanya panitia bilangnya ini punya aku, awas aja gak bilang gitu."

"Tapikan gue yang ngambil, berarti ini punya gue juga."

"Tapi aku yang nemuin."

"Iya gue cuma bercanda kali. Lagian punya gue udah di kumpulin duluan."

"Kamu udah di kumpulin? Kok cepet banget nyarinya? Yang lain udah selesai belum?" tanyaku beruntun.

"Semuanya udah cuma lo doang yang belum."

"Mereka sadar aku gak ada di sana?"

"Lo ngehindarin Angga kan?"

Aku diam, "cepet sana ke tenda. Obatin lukanya."

Raihan pergi dari hadapanku dengan ranting-ranting itu. Aku tau Raihan mengalihkan percakapan ini karena aku merasa gugup untuk mejawab. Untuk kesekian kalinya aku di buat kagum oleh dia. Raihan tidak pernah memaksaku cerita sebelum aku benar-benar siap.

***

Aku tersenyum saat api mulai membakar kayu-kayu. Perlahan rasa dingin di gantikan rasa sangat. Di depan sana api unggun membara, membuat penerangan secara alami. Murid-murid mulai bersandung ria sambil menyanyikan lagu. Canda tawa dan suara obrolan terdengar jelas di seluruh lapangan. Aku menatap sekitar memperhatikan orang-orang. Mereka sangat menikmati malam ini, begitu pula denganku.

My Teenage Years {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang