Sembilan Belas

1 2 0
                                    

Sudah hampir beberapa kali aku dan Raihan berangkat dan pulang bersama. Entah hanya kebetulan atau memang di rencanakan. Aku tidak lupa dengan ucapan Raihan hari itu, meski aku lebih dulu menawarkan agar selalu bersama. Tapi kalian ingat, hari itu Raihan menolak dengan alasan aku berisik tetapi di waktu bersamaan Raihan berkata pada Veira akan pulang dan berangkat bareng denganku. Telingaku masih sangat berfungsi untuk mendengar percakapan mereka hari itu, bahkan beberapa kali aku melihat Veira menatapku dengan tatapan kurang suka padahal seingatku, aku tidak punya masalah dengannya.

"Raihan aku mau tanya boleh?"

Cowok itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Rumah kamu deket tempat seblak yang aku beli apa jauh dari sana?" tanyaku.

"Deket," jawab Raihan.

"Berarti waktu itu kamu sama yang lainnya beli seblak ke situ karena deket sama rumah kamu ya..."

"...oh iya, kamu kok bisa deket sama Angga sama Dika sih? Perasaan kalo di sekolah kalian keliatan jarang interaksi."

"Gue sama temen-temen yang lo liat hari itu, temen gue dari kecil."

"Berarti rumah kamu yang sekomplek sama aku itu karena kamu baru pindah?"

"Iya."

Aku mengangguk faham. Sekarang aku mengerti kenapa aku merasa asing dengan wajah Raihan padahal cowok itu bilang jika rumahnya dengan denganku. Tidak heran kenapa Adi tidak kenal sama Raihan begitu pun sebaliknya. Karena yang aku tau Adi adalah anak yang di kenal di komplek rumah ku, bukan karena hal prestasi tapi karena Adi di kenal sebagai anak ramah dan gampang berinteraksi dengan tetangga.

Ekor mataku tak sengaja menangkap sosok Veira. Cewek itu sedang berdiri di pinggir lapangan bersama teman-temannya. Lagi-lagi tatapan matanya tersirat kalau dia tidak suka padaku. Melihat itu membuat aku merasa canggung. Tanpa menunggu Raihan, aku berjalan lebih dulu. Menelusuri sepanjang koridor dengan langkah lebar dan cepat. Rasanya sangat tidak nyaman dengan tatapan itu.

"Pagi-pagi udah kayak di kejar apaan aja, keringetan."

Aku terkekeh pelan sambil menaruh tas. Meta selalu menjadi langganan datang pagi di kelas ini, "tau nih pagi-pagi udah keringetan aja. Mungkin gara-gara belum sarapan," ujarku.

"Kantin yuk, siapa tau udah ada yang jualan," ajak Meta.

"Boleh, mumpung yang lain belum pada dateng."

***

"Kelompok akan di bentuk sesuai Absen!!!"

Aku menghela nafas. Jika sesuai absen sudah pasti aku dan Yena satu kelompok. Rencana yang sudah aku rancang akan batal jika begini. Jujur saja, kebiasaan Yena yang sering menyontek dan memerintah ku seenaknya membuatku malas denganya, meskipun status kami adalah teman sebangku.

Sesuai tebakanku, nama Yena di panggil sebelum namaku lalu di susul dengan temanku yang lain.

"Kita mau ngerjain tugasnya kapan?" tanyaku pada yang lain.

"Kerkom nya di sekolah aja lah, pulang nanti, toh cuma ngerangkum doang kan sama persentasi."

"Iya sih."

"Dah lah mending gak usah kerkom. Biar gueq aja yang rangkum semua, terus kalian tinggal baca sama pahamin biar pas persentasi bisa. Gue yakin rumah kalian jauh-jauh, takutnya kalo kerkom pulang sekolah kalian semua sampe rumahnya bisa kesorean...."

"...nanti hasil rangkumannya gue kirim lewat chatting."

Semua anggota kelompok ku mengangguk termaksud aku. Ah, setidaknya aku tidak perlu kesal karena sekelompok dengan Yena. Kali ini ada yang berbaik hati untuk kelompok ini.

"Udah kelarkan. Gue mau pulang deh, lagian bel juga udah bunyi tuh," sela Yena.

"Iya kita semua pulang ya, nanti kirim ya kalo udah selesai."

Melihat yang lain beranjak, aku pun ikut beranjak. Cepat-cepat menuju gerbang sekolah, siapa tau Raihan sudah ada di sana, atau belum.

Aku tidak terlalu yakin dengan Raihan yang berkata akan pulang dan berangkat bersamaku, tapi apa salahnya mencoba dulu. Siapa tau memang di gerbang sana Raihan sudah menunggu.

"Yuna!!!"

Aku menoleh, seseorang jalan kearah ku, membuat langkahku secara spontan berhenti. Aku tidak tau apa yang mau dia bicarakan. Seingatku, kami tidak pernah berbicara secara langsung, tapi setelah aku ingat lagi,  dia termasuk anggota kelompok ku, kemungkinan dia memanggilku ingin membahas soal tugas tadi.

"Ada apa?" tanyaku saat dia sudah ada di depanku.

Dia Sania, anggota kelompok yang sama denganku dan seingat ku dia juga sering bersama Alya.

"Gue boleh pulang bareng lo gak hari ini?" tanyanya.

"Rumah kamu searah sama aku?"

Sania mengangguk, "ayo deh," ucapku.

Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam, mungkin karena kami belum dekat atau bisa di bilang ini adalah interaksi untuk pertama kalinya.

Aku menghela nafas, seperti dugaanku, Raihan tidak ada di depan gerbang. Itu artinya ucapannya saat itu hanya sebuah ujaran untuk Veira agar dia tidak mengikutinya terus. Sudahlah biarkan saja, meskipun nantinya Raihan tidak ingin bareng, aku akan memaksanya nanti jika berpapasan atau memang bertemu saat berangkat atau pulang.

"Btw, lo tau gak sih Angga suka sama lo?"

Aku menoleh, menatap Sania di sebelahku. Hari ini aku memutuskan pulang menggunakan bis, ya itung-itung sudah lama sekali aku jarang naik bis. Bisa di bilang selama bersama Raihan aku selalu naik angkot. Tapi tidak masalah sih, aku suka dengan keduanya, bedanya bis harus menunggu lebih lama sementara Angkot cepat sekali datangnya. Tidak heran kenapa Raihan memilih angkot dari pada bis, selain cepat angkot.

"Kamu dapet berita kayak gitu dari mana?" tanyaku bingung.

"Gue sempet denger dari anak laki-laki di kelas kita, katanya Angga suka sama lo. Gue gak tau sih itu bener apa enggak tapi mengingat sikap Angga kayak gitu sama lo, emang lo gak berfikir kalo dia suka sama lo."

"Aku gak kepikiran sampe sana."

"Coba deh lo perhatiin lagi sikap Angga ke lo, gue yakin setelah lo sadar pasti apa yang gue ucapin itu bener. Bahkan tadi Angga diem-diem ngobrol sama salah satu anggota kelompok kita buat tukeran, alesannya dia pengen di kelompok kita," ujar Sania.

"Hah, serius? Masa sih, kok aku ragu ya."

"Ya itu sih terserah lo aja mau percaya atau enggak. Lagian lo kenapa bisa gak sadar sama sikap Angga selama ini, apa jangan-jangan lo lagi pacaran sama orang?" tanya Sania.

"Aku gak punya pacar," sangkal ku.

"Terus, oh gue ngerti. Pasti ada orang yang lagi lo suka, iya kan."

Tidak ingin menjawab aku memilih diam. Pikiranku seketika ambur radul. Fakta bahwa aku memang menyukai seseorang. Seseorang yang sudah ketahuan tidak menyukaiku. Jujur saja, aku masih belum bisa melupakan kak Rangga padahal statusnya kak Rangga sudah berpacaran dengan Naya. Ah, mengingat itu membuatku kesal sendiri. Seberapa pun kuatnya aku untuk melupakan kak Rangga sekuat itu juga aku menyukainya. Tapi kalian tenang saja, aku masih sadar diri dan tetap akan berusaha untuk berhenti menyukainya.

My Teenage Years {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang