Awan yang telah mendung akhirnya menurunkan tetesan air. Membuat jalan yang tadinya kering seketika basah. Bertepatan dengan itu, bel pulang berbunyi. Beberapa murid memutuskan untuk keluar kelas namun beberapa lagi memutuskan untuk berdiam diri sampai hujan sedikit reda.
Entah kenapa sejak tadi aku tidak begitu banyak berbicara. Rasanya moodku hancur setelah melihat kejadian di perpus. Sejujurnya aku tidak tau apakah Naya menyadari sikapku apa tidak, tapi siapa peduli aku pun juga tidak mau gelagatku terlalu terbaca apalagi Naya tipikal orang yang sangat peka.
Aku menoleh, Naya bangkit dari bangkunya. Tidak seperti biasanya dia memutuskan pulang saat hujan masih deras-derasnya. Ah aku lupa, sekarang Naya sudah berpacaran dengan kak Rangga. Mungkin dia memilih menghampiri kelasnya kak Rangga.
Ayolah Yuna kenapa kamu seperti ini. Dimana semangat ku sebelumnya. Sungguh, rasanya aku ingin sekali menangis. Meratapi kisah percintaan ku yang selalu berakhir tragis. Apakah aku ini hanya pelarian untuk mereka yang ingin mendekati gebetannya. Dulu Ari dekat denganku dan berakhir Ari berpacaran dengan Saskia, sekarang kak Rangga yang berpacaran dengan Naya.
"Yuna mau ikut pulang bareng gue?" tanya Laras.
"Rumah kitakan beda arah," jawabku.
"Adi mau jemput gue nanti. Gimana kalo abis nganter gue dia nganter lo pulang. Rumah kalian deketan. Gue sekalian minta dia supaya nganter lo pulang nanti."
"Gak usah, aku pulang sendiri aja." Aku tersenyum sambil bangkit dari duduk.
"Mau kemana?" tanya Laras.
"Pulang."
"Masih hujan."
Aku tersenyum kecil, "gak papah, udah lama gak nerjang hujan. Aku duluan."
Tanpa menghiraukan teriakan Laras, aku tetap berlalu. Namun sebelum benar-benar menerjang hujan. Aku berhenti sebentar, mengamankan buku-buku ku agar tidak basah. Untung setiap hari aku selalu membawa plastik besar, setidaknya itu berguna di saat seperti ini.
Setelah selesai, aku kembali melanjutkan jalan. Namun tepat di depan gerbang aku melihat seseorang yang juga berdiri sambil menunggu reda. Secara pribadi aku tidak kenal siapa dia, namun setelah mataku melihat orang itu aku jadi teringat sesuatu. Dia orang yang ku tabrak siang tadi, aku harus menghampirinya. Meminta maaf lebih jelas, mengingat siang tadi aku meminta maaf secara terburu-buru. Namun sebelum aku membuka suara, seseorang justru datang. Berdiri tepat di sebelahku, membuat perhatianku teralih padanya.
"Lo gak pulang bareng Prista?" tanya Angga.
"Dia masih dikelas," jawabku.
Aku mengalihkan perhatianku sejenak. Orang di sebelahku sempat melirik sebentar kearah kami tepat saat Angga bertanya. Itu bagus, setidaknya dia sudah melihat keberadaan ku sekarang.
"Kamu yang tadi aku tabrak di perpus kan. Aku minta maaf, aku gak liat ada orang tadi," ucapku.
"Bukannya udah minta maaf tadi." Orang itu menjawab tanpa melihat kearah ku.
"Iya, tapi yang tadi kesannya aku buru-buru. Maaf sekali lagi."
Orang itu hanya mengangguk pelan. Aku ingin sekali menanyakan namanya, tapi entah kenapa aku terlalu takut. Aura orang itu sangat dingin.
Aku menghela nafas pelan kemudian melirik Angga sebentar, " kamu ngapain di sini?"
"Pulang lah ngapain lagi."
"Kamu kan bawa motor harusnya nunggu di kelas aja."
"Emang gak boleh kalo gue nunggu di gerbang."
"Boleh aja emangnya siapa yang mau ngelarang," ujarku.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Teenage Years {END}
Teen FictionAkan banyak peristiwa yang terjadi di saat masa remaja. Susah, senang maupun urusan hati. Konflik yang mungkin akan terus bermunculan sehingga karakter pendewasaan terbentuk. Beberapa hal manis mungkin juga bisa terjadi di masa ini, seperti percint...