Tiga Puluh Satu

1 2 0
                                    

Satu minggu telah berlalu, tidak ada perubahan dalam penataan meja dan bangku. Semua masih sesuai kelompok hingga detik ini dan selama ini juga aku tidak pernah berbicara dengan Raihan sekalipun kami sekelompok. Sebagian orang menyadari hubunganku dan Raihan merenggang, sebagian lagi tidak menyadarinya.

Seperti sekarang, ketua kelompok memintaku untuk mengerjakan tugas terakhir bersama Raihan. Ketua kelompok mengetahui rumahku dan Raihan paling dekat satu sama lain, sehingga dia menyuruh kami berdua untuk menyelesaikannya. Sementara itu anggota yang lain mengerjakan tugas kelompok yang lainnya.

Aku menolak, tentu saja. Tapi Raihan dengan gamblangnya menerima permintaan ketua kelompok. Aku menghela nafas lelah. Bagaimana bisa aku menghindari situasi canggung nantinya.

"Kenapa?"

Aku tersentak, Raihan bertanya padaku untuk pertama kalinya setelah kejadian itu.

"Gak papah cuma pusing dikit," jawabku sambil tersenyum kecil.

Deg

Aku tak bergeming, Raihan memegang keningku dengan tatapan khawatir. Tolong, ini kenapa jantungku berdebar sangat kencang. Raihan, apakah kamu bisa bersikap biasa seperti kemarin-kemarin.

"Loh, orang-orang kemana?" tanyaku begitu sadar sudah tidak ada lagi orang di kelas.

"Udah pulang," jawab Raihan.

Cowok itu menarik kembali tangannya, "Tugasnya biar gue yang ngerjain, lo pulang aja ke rumah."

Raihan bangkit dan pergi setelah. Meninggalkanku yang masih termenung seorang diri di kelas. Sebenarnya dia kenapa, sifatnya berubah kembali seperti kemarin-kemarin dalam hitungan detik.

Aku memutuskan pulang. Sudah tidak ada lagi yang harus ku kerjakan.  Namun belum sampai gerbang mataku melihat Raihan dan Veira bersama. Pemandangan yang cukup menyakitkan bagiku. Tapi aku bisa apa, tidak ada hak bagiku untuk cemburu.

Aku berjalan melawati gerbang, mengacuhkan keduanya seakan tidak melihat mereka. Aku sadar ketika melewati mereka Raihan menatap ke arahku. Tapi aku tidak peduli, langkahku semakin cepat agar cepat menjauh dari sana. Tidak ku sangka, Raihan justru berlari kearah ku dengan nafas tersenggal.

"Gue nungguin lo, kenapa lo malah pergi gitu aja," kesal Raihan.

"Aku kira kamu pulang bareng Veira."

"Gue nungguin lo."

Hening beberapa saat. Aku bingung harus menjawab apa. Sepanjang jalan aku dan Raihan diam, tidak ada suara sedikitpun diantara kami, "Tugas buat aku apa. Biar sama rata ngerjainnya. Kamu gak usah ngerjain semuanya."

"Gak papah, biar gue aja yang ngerjain, lo istirahat aja. Gue tau lo demam, jangan sampe hari persentasi lo malah gak sekolah."

Raihan menjauh dariku setelah sampai gang rumahnya. Aku dan Raihan memang berdekatan rumahnya, namun aku masih sedikit lebih jauh dari rumahnya. Sekitar tiga ratus meter dari gang rumah Raihan.

"Gak tau lagi gimana caranya biar gak salting," gumamku di sertai kekehan pelan.

***

Setelah kejadian hari itu Raihan kembali bersikap seperti sebelumnya, dingin dan tidak menganggap keberadaanku. Jujur aku bingung, kenapa perubahannya sangat cepat. Maksudku....

Ah sudahlah lupakan saja. Mungkin bisa saja saat itu Raihan terbentur sesuatu di kepalanya sehingga baik padaku. Ingat, lagi pula aku yang meminta Raihan seperti sekarang. Jadi aku tidak boleh mengeluh atas sikapnya padaku.

"Lo gak mau ke kantin?"

Aku menggeleng pada Laras. Cewek itu menghela nafas panjang sambil mengangguk. Laras meninggalkanku seorang diri di kelas saat istirahat berlangsung. Entahlah, semenjak banyak berita buruk tentangku, aku jadi takut keluar kelas setelah sampai sekolah. Terakhir kali aku keluar kelas, aku melihat kalimat-kalimat menyakitkan di tembok kamar mandi.

Aku memutuskan untuk membaca novel sambil mendengarkan musik. Setidaknya mengisi waktu luang dari pada tidak melakukan apapun. Sejujurnya aku ingin sekali pergi ke perpustakaan seperti dulu tapi rasanya tidak mungkin.

Di sela membaca, bibirku menyunggingkan senyuman kecil. Spontan memori saat kelas satu terlintas di pikiranku. Saat itu adalah kenangan SMP terindah bagiku, sebelum semuanya berubah. Tanpa ku sadari sebentar lagi lulus. Hari dimana aku sangat menantikannya.

Ujian kelulusan akan di lakukan minggu depan dan saat itu aku akan berusaha mendapat nilai baik agar orang tuaku bangga. Setelah lulus, aku akan mencari sekolah yang jauh dari sekolah ini agar semua kenangan buruk satu persatu akan terlupa.

Membayangkan itu semua membuatku senang. Ini adalah perasaan aneh yang ku terima setelah lama tidak ku rasakan. Aku berharap semua masalahku berhenti sampai di sini. Aku akan berusaha agar tidak mementingkan perasaanku. Biarlah semuanya berjalan seperti air yang mengalir, aku tidak lagi peduli bagaimana kedepannya aku di sekolah ini. Tapi yang pasti untuk saat ini aku harus fokus pada tujuan awalku. Membanggakan keluarga dengan nilai yang ku peroleh.

"Lain kali kalo gak ke kantin seenggaknya nitip, kalo gak makan bekel lo."

Raihan duduk di depanku dengan bangku yang di arahkan padaku. Cowok itu duduk sambil menaruh kotak nasi di meja. Aku mengerutkan kening, berfikir sejak kapan Raihan membawa bekal.

"Gue bawa bekel kebanyakan, mubazir kalo gak di makan. Ayo makan bareng."

"Aku bawa bekel sendiri."

"Kenapa gak dimakan?" tanya Raihan.

"Gak mood. Kamu makan aja, aku mau ke perpus."

Raihan menahan tanganku saat akan berdiri. Sedikit menariknya agar aku kembali duduk. Cowok itu membuka kotak bekalnya dan menyerahkannya padaku, "Gak usah bohong, gue tau lo udah lama gak ke sana. Cepet makan keburu bel masuk..."

"...Bekel lo simpen aja buat istirahat ke dua sekarang makan punya gue."

Jujur, aku merasa canggung berada di situasi seperti ini. Makan berdua dari kotak bekal yang sama sambil duduk berhadapan. Meskipun Raihan tidak melirikku tetap saja aku merasa canggung, malahan aku yang terus melirik ke arahnya.

Sebenarnya Raihan begini sadar tidak sih, dia melakukan ini dengan santainya tanpa takut di perhatikan orang lain. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti situasi ini. Situasi dimana menimbulkan rasa penasaran bagi orang-orang yang melihatnya.

"Kamu gak takut di liatin orang kita kayak gini?"

"Ngapain nanya gitu, paling lo yang di sangka minta makanan Gue."

Aku mendengus, "kamu yang maksa aku."

Raihan terkekeh pelan, "gak akan ada yang mikir gitu. Cepet abisin keburu orang pada dateng."

My Teenage Years {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang