Pena berbahan logam mulia di tangan seorang pria diketukkan secara abstrak pada permukaan meja kaca. Sepasang matanya fokus terhadap dokumen yang dikirimkan salah satu manajer di layar komputernya sebelum mengalihkan perhatian sekilas kepada arloji yang melingkari salah satu pergelangannya.
"Apa jadwal saya habis ini, Bim?" ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari tiap-tiap catatan kaki pada dokumen MoM yang dikirimkan oleh ketua divisi Business Development.
Jemari mengusap layar tablet tipis, Bima kemudian mendongak menatap Januar yang berada beberapa meter di hadapan. "Bapak ada jadwal makan siang dengan Pak Zurielle." ujarnya seraya menyodorkan barang elektronik pipih tersebut pada Januar.
Selama beberapa saat, alpha tersebut tak membuka suara, ia pandangi tabel spreadsheets yang sudah dibuat seapik mungkin oleh Bima.
"Oh, dia sudah tiba di Indonesia?" tanyanya diselingi intonasi rendah mencibir.
Rasanya pemilik nama Abelvan Salim dengan frasa "berada di Indonesia" tidak terdengar menyatu dengan baik di telinganya.
Pria itu terdengar sangsi atas apa yang disampaikan oleh asisten pribadinya. Walau sebetulnya, gagasan untuk makan siang bersama dengan Zurielle telah lama dijadwalkan oleh keduanya secar langsung.
"Kalau begitu minta Pak Adit untuk siapin mobil, saya mau bawa sendiri." putusnya seraya meraih jas yang diletakkannya pada tiang penggantung pakaian, serta ponsel genggam yang kini layarnya tengah menampilkan notifikasi dari aplikasi pesan yang berisikan email konfirmasi reservasi dari Bima.
"Siap, Pak. Akan saya sampaikan."
—
"Thought you were bringing me to those famous American steak house,"
Salah seorang di antara mereka, yang kini duduk di kursi penumpang depan bergumam pelan. Ketika matanya membaca papan nama restoran yang dipasang pada bangunan bernuansakan putih elegan tersebut. Yang mana, gumaman tersebut masih bisa ditangkap dengan jelas oleh si alpha.
"Aren't you get tired of those kind of food? Saya yakin selama kamu di luar negeri makannya gitu terus." Januar menjawab setelah mematikan mesin mobil.
Maka tanpa banyak bicara, Zurielle langsung menanggalkan jaket yang ia kenakan hingga menyisakan turtleneck hitam senada yang membingkai lekuk tubuhnya mendetail. Sehingga kini, untaian kalung berbandul salib terekspos jelas tengah menggantung di leher omega tersebut.
"Considerate banget," cibir Zurielle lantas segera masuk mengekori pria 32 tahun itu ketika Januar terlihat tidak peduli dengan ucapannya dan memilih untuk berlalu dari sana
Sebab, keduanya tahu jikalau Zurielle bukan penggemar makanan Indonesia. Lidahnya tidak begitu terbiasa dengan keberadaan rempah-rempah yang terlalu kuat di lidah.
Jadi, membawa Zurielle ke restoran makanan khas Padang—Pagi Sore—jelas menurunkan selera makan omega tunggal keluarga Salim tersebut.
Setelah Januar menunjukkan bukti reservasinya, keduanya dituntun untuk menduduki salah satu meja yang ada di sana. Dengan Zurielle yang berjalan di belakang salah satu pelayan, dan Januar yang berada beberapa langkah di belakang omega tersebut.
"Anjir, kamu mesen ini semua?!" Zurielle melotot hebat kepada Januar tepat setelah pramusaji menghidangkan kelewat banyak makanan di atas meja mereka.
"Nggak." singkat Januar sembari melakukan gestur tubuh untuk memanggil salah satu pramusaji. Mata elang alpha terebut menelisik tiap-tiap piring masakan yang tersaji sebelum menoleh kepada wanita yang kini berada di antara keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
to my twenties, jaejen
Fanfiction"𝘈 𝘭𝘰𝘵 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘦𝘥 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘵𝘸𝘦𝘯𝘵𝘪𝘦𝘴, 𝘢𝘯𝘺 𝘸𝘰𝘳𝘥𝘴 𝘡𝘶𝘳𝘪𝘦𝘭𝘭𝘦?" -- Bagi para borjuis, mengokohkan kekayaan dan menjaganya agar terus berkembang hingga ke generasi yang akan datang ialah apa yang...