21. enamel and badge

1.3K 148 30
                                    

Di dalam mobil, Januar mengusap wajahnya kasar. Dia jarang sekali lepas kendali dalam berbagai situasi. Sialan lelaki itu, Januar tak tahu apa hubungan Mikaiah dengan Zurielle sama sekali. Kalimat lelaki itu pun banyak sekali yang mengganggunya.

Sial pula, Mikaiah benar saat mengatakan bahwa Januar tak tahu apa-apa perihal Zurielle yang tak pernah senang jika segala hal berkaitan dengan Surya Benjamin dan keluarganya.

Maka yang Januar lakukan ialah, menyalakan ponsel yang sedari tadi dayanya dimatikan lantas memandangi wallpaper-nya beberapa saat. Kepalanya sibuk buat probabilitas paling baik, paling buruk. Semuanya memenuhi kepala Januar sampai rasanya dia nyaris gila. Hingga yang ia lakukan adalah memijat pelipisnya pelan.

Hingga dering ponselnya memecah keheningan, nama yang muncul di sana membuat Januar segera menjawab telepon yang masuk. "Iya, Elle?"

Beberapa saat terdiam, ia menyimak lelaki yang di Seberang, "Peking duck? Kamu mau makan itu? Saya bisa bawain sekarang. Lagi free, 'kok" ucapnya seraya melirik arloji Patek Philippe miliknya.

Zurielle menggigit bibirnya di seberang sana, langkahnya mondar-mandir tidak berhenti. Sibuk menimbang-nimbang apakah dia harus menyuarakan maunya. "Ngg, aku makan di luar, boleh?" gumamnya setelah Januar selesai bicara.

Ada keheningan nyata yang terjadi di antara mereka selama beberapa saat. Kemudian Januar membalas, "Kamu lagi heat, nggak pa-pa?"

"Kan ada kamu," balasnya tanpa sadar. Barulah setelah hening kembali menjaraki mereka dia langsung memekik. "Nggak-nggak! Maksudku, 'kan ada kamu. Kamunya ada sama aku—aduh! Gimana, sih?!" Zurielle bersuara nyaring sekali—nyaris melengking—sampai-sampai Januar harus menjauhkan ponselnya beberapa saat dari telinganya.

Kekehan Januar dari seberang sana terdengar menggema lewat speaker ponsel Zurielle. Omega itu tertegun sebelum melanjutkan. Dia mengulum bibirnya lagi. Suara kebapak-an Januar terdengar jelas sekali. Zurielle tidak tahu jikalau itu sebab suaminya sudah berusia tiga puluh tiga tahun, atau memang Januar saja yang terlalu berwibawa.

"Intinya, aku merasa aman kalau sama kamu." Dia mengulum bibirnya lagi. Begitu ucapnya sebelum sambungan telepon langsung dia matikan saat menyadari tidak ada balasan dari lelaki Februari itu.

Berbekal celana jeans serta kaos putih yang punggungnya berhias logo Off-White, dia menunggu Januar dengan sabar di lobby hotel. Topi MLB yang entah miliknya atau Januar, terpasang apik di kepalanya. Irisnya tak pernah lepas dari arah pintu kaca dengan tangan yang tak berhenti memilin strap tas selempang dari Loewe. Senyumnya langsung terbit kala apa yang ditunggunya sudah sampai.

Sebuah BMW X5 hitam yang sudah ia kenali dengan sangat itu terparkir tepat di depan pintu. Tanpa menunggu waktu lama dia langsung meraih tasnya asal-asalan dan berlari menuju pintu kaca yang segera dibuka untuknya oleh security.

"Kita makan di mana?" tanyanya langsung begitu masuk dalam ruang mobil.

"Pasang seatbelt dulu, Elle." Januar mengingatkan seraya ia mulai menginjak pedal gas. Matanya menyoroti sekilas pada Zurielle yang sempat emnggerutu sebelum kembali menatap pada ruas jalan yang dilewatinya. "Kalau kita makan yang deket aja, nggak pa-pa? Saya masih harus balik kantor."

Zurielle menganggukkan kepalanya, dia tidak terlalu pemilih. Toh yang penting keinginannya untuk makan bebek di penuhi. Lantas dia menoleh kala Januar kembali bersuara, "Ada saran resto?"

"Kalo yang deket, aku nggak tau di mana. Taunya cuma yang di Menteng. Tapi 'kan luamayan jauh kalo kamu bolak-balik. Mana sekarang jam makan siang, jalanan pasti rame." Balasnya seraya membuka laman pencarian di ponsel.

to my twenties, jaejenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang