2. the hipocrisy

2K 226 12
                                    

Zurielle menggigit pipi dalamnya sambil bersedekap dada. Ia menatap punggung wanita yang sudah memijaki kepala empat tersebut dengan saksama. Wanita tersebut kini tengah sibuk dengan berbagai macam badang-barangnya yang hendak dimasukkan ke dalam tas. 

"Bu Kasih udah belanja bulanan?" tanyanya setelah berdeham pelan. Ia memperbaiki lipatan turtleneck di lehernya. 

Iya, sehabis Januar membawanya menikmati brunch di salah satu restoran Padang, Zurielle dipulangkan pada apartemen berluas 523 meter persegi yang berada di jantung kota Jakarta Selatan, Sudirman.

Hanya untuk menemukan jikalau asisten rumah tangganya hendak kembali ke kampung sebab keluarganya yang sakit—yah, meski jadwal liburan Bu Kasih memang setiap kali Zurielle kembali ke Indonesia, sih. 

"Saya hanya belanja sedikit, Mas." Perempuan tersebut berbalik, meletakkan tasnya di lantai dan hendak menyalami Zurielle. 

"Oh, Ya udah, hati-hati di jalan, Bu." Zurielle memasang senyum tipisnya lantas menyodorkan tangannya ragu untuk membalas uluran tangan dari yang lebih tua. 

Zurielle menarik tangannya kembali dan menyarungkannya ke dalam kantong celana denim ketat yang masih membungkus kaki jenjangnya. "Nanti chat saya, kalau udah sampai di Pati." 

Sebagai majikan, Zurielle harus memastikan orang-orang yang bekerja padanya selalu dalam keadaan baik dan terjamin. Bukannya apa, Zurielle paling tidak suka berkecimpung dan tersenggol oleh segala hal berkaitan sosial media. 

Sosial media itu gila.

Maka tak heran kalau selama nyaris enam tahun terakhir, dirinya cukup jarang mengunggah postingan mengenai diri dan hidupnya. He is simply had enough with it.

Sehingga ketika dirinya sudah menutup pintu lekas Bu Kasih keluar, ia meraih ponsel genggamnya. Tangannya sibuk menggulirkan layar pipih tersebut sambil menggembungkan pipinya tanpa sadar. Semua itu dilakukannya sebelum memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.

m-Transfer
BERHASIL
17/04        13:34:11
009 — BCA
08XXXXXXXX
KASIH AINUR
Rp 5,000,000.00

Uang pegangan buat Bu Kasih.

"Apa ini? Saya gak merasa pernah approve budget buat marketing." Januar meletakkan kumpulan kertas yang ditaruh menjadi satu dalam sebuah map. Matanya menatap nyalang kepada Abimana di depan yang wajahnya sudah cukup pias.

Iya, pikir Abimana perasaan seorang Januar bisa saja menjadi lebih baik setelah bertemu dengan suaminya tadi saat jam makan siang. Nyatanya laki-laki tersebut tampak lebih pusing dengan mood yang lebih berantakan.

Mendecakkan lidah, Januar bangkit dari kursinya. Ia meraih map berwarna hijau dongker tersebut sebelum berjalan menuju pintunya yang segera diekori oleh Abimana dengan raut wajahnya makin tidak karu-karuan.

Langkah sepatu pantofelnya yang memasuki lift diikuti dengan Abimana yang segera memperbaiki kancing kemejanya meski masih terpasang rapih. Gugup langsung menyergap. Kalau wajah Januari Moeis sudah kelewat masam seperti ini, ucapan pedas pasti akan disemburkan entah dalam menit ke berapa.

Januar menempelkan kartu kepegawaian miliknya yang juga berfungsi sebagai kartu akses segala penjuru gedung ini. Setelah bunyi konfirmasi berdenting, ia menekan tombol lantai nomor 47. Lantai divisi marketing.

Sungguh, sejak pintu lift ditutup dan kotak besi yang mengangkut mereka terasa bergerak turun, rasa-rasanya napas Abimana tidak diembuskan sejak tadi. Ia tahan napasnya sejak 30 detik yang lalu.

to my twenties, jaejenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang