27 : two hanging birds

1.2K 138 13
                                    

Lelaki Februari itu mendongak kepada sekertarisnya, "Sejak kapan orang dari Pak Surya nyecer kamu?" Tanyanya sambil kembali membaca notulensi rapat yang tidak dihadirinya.

Abimana mengulum bibir, berusaha menetralkan takutnya sebelum menjawab kembali. "Sudah tiga hari setelah Bapak menolak untuk kembali hadir di acaranya." Lantas pria itu menghela napasnya pelan kala mendapati sebuah anggukan tenang sebagai respon bosnya tersebut.

"Terima aja, Bim. Just let me know kapan scheduling-nya as soon as possible. " balasnya tenang seraya menyerahkan map kembali pada lelaki tersebut. Januar kemudian bermain dengan pena yang sedari tadi bertengger di jemarinya. Dia kembali menoleh lelaki yang lebih muda.

"Kayaknya saya bakalan nyusahin kamu lagi, Bim." Januar menyandarkan punggung sepenuhnya pada kursi yang ia duduki.

"Ya, Pak?" tanyanya pura-pura tidak mengerti, padahal di dalam kepalanya Abimana sudah bisa memperkirakan segala maksud dari atasannya tersebut.

"Selama beberapa bulan ke depan kamu akan menangani urusan saya di luar korporasi. Kerjaan kamu ini akan saya take sebagai lembur dan surely will be paid, jangan khawatir." Januar melanjutkan kembali kalimatnya.

"Jadi kamu—" Si kelahiran 90 itu menjeda ucapannya sendiri, "—segera cari kandidat asisten pribadi untuk household matter saya biar kerjaan kamu nggak ke-double." Ia terkekeh di akhir kalimat.

Abimana mengangguk patuh, "Segera akan saya lakukan setelah semua renewable contract dengan rumah sakit terafiliasi dengan asuransi sudah selesai."

Mendengarnya buat si pria Februari menganggukkan kepalanya puas. Januar meletakkan pena yang sedari tadi dipegangnya. "Tolong kirim hasil scan BAST-nya aja, hard copy-nya kamu yang pegang." Januar kemudian melanjutkan sembari ia bangkit dari kursinya.

Dia meraih ponsel dan dompetnya dari laci serta jas yang tersampir di kursinya, "Jam berapa kita meeting di Sampoerna Strategic, Bim?" tanya seraya berlalu lebih dulu dari mejanya, membuat Bima harus segara melangkah untuk mengikuti pria itu.

"Jam satu siang, Pak." balasnya seraya membaca spreadsheet dari tabletnya seraya membenarkan posisi dasi yang nyaris mencekik lehernya.

"Kalo yang di Sofia?" tanyanya lagi memastikan jadwal di luar kantor yang terakhir untuk hari ini tatkaala matanya tak sekalipun lepas dari ponselnya.

"Kalau yang itu—" Sekertarisnya menjeda ucapannya sendiri, melirik kolom-kolom yang terpampang di tabletnya serta diberi blok warna sebelum mengangkat kepalanya kembali pada Januar. "—jam empat sore nanti, Pak."

Sepasang tungkai jenjang miliik lelaki kelahiran Februari itu menyusuri lantai pualam sebuah restoran di daerah Gunawarman, tempat janji temunya dengan Surya Benjamin. Pandangannya jatuh pada arlojinya sendiri. Menunjukkan keterlambatannya beberapa menit sehingga ia mempercepat padu langkah kakinya.

"Reservasi atas nama Benjamin," Lelaki itu segera berucap kepada wanita yang seera menyambutnya ketika ia datang mendekat.

"Silakan, Bapak. Mari kami antar,"

Januar menoleh kepada lelaki yang sudah siap membawanya ke salah satu meja yang akan didudukinya. Iris legamnya menatap bagaimana tiap-tiap meja lain tidak berpenghuni, buat ia denagn segera paham jikalau pembahasan mereka kali ini cukup confidential sehingga lelaki itu memesan seluruh meja di bawah namanya.

Pakaiannya kali ini hanya berbekal jas serta celana senada dengan kemeja di dalamnya yang kancing teratasnya ia buka. Kala irisnya menemukan presensi yang ia kenali. Dia temukan punggung tegap yang tengah rileks menyandar pada kursi, menikmati acara menyeruput minumannya dalam cangkir porselen dengan gerakan tertata.

to my twenties, jaejenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang