July, 2017.
"Elle, kamu di sana?"
Lelaki dua puluh tahun, berkaos polos dengan kemeja flanet kusut yang kancingnya dibiarkan terbuka. Rambut legamnya juga sama berantakan, lepek sebab mungkin sesimpel empunya turut kalut menjalani hari. Yet there he was, mendatangi rumah keluarga Salim yang megah luar biasa sedang dia hidup dengan kekurangannya. Memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu kembali meski nihil respon dari dalam sana.
Dari dalam kamar tidurnya, Zurielle hanya terbaring dengan sepasang pandangannya yang sayu, seakan nyawanya sudah ditarik saat-saat yang lalu. Dia pandangi plafon tinggi di atasnya dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki. Jejak air mata yang mengering masih membekas di wajahnya. Mata yang sudah lelah kembali dibanjiri likuidnya.
"Aku minta maaf karena nggak bisa menemani kamu beberapa hari terakhir. Padahal kamu juga sama terpuruknya." Lelaki di balik pintunya pelan-pelan berucap dari suaranya yang turut bergetar. "It's just that, situasinya sulit. Kalau aku lengah sedikit, mungkin aku sudah mati dihajar orang-orang."
Tangan si Gatrabiru mengepal hingga tak elak dari bergetar sebab menahan emosi yang membuncah. Ia tak tahu kapan terakhir kali tidur dengan tenang sejak masalah tersebut pecah. Buat dia dinonaktifkan dari jabatannya di kampus, kehilangan seluruh harga dirinya, tak didengar oleh semua orang meski sudah meneriakkan kebenarannya. Nakula benar-benar merasa bisa mati saat ini juga.
"Tolong jaga diri kamu selalu. I always love you, Elle."
Sungguhan Zurielle bisa merasakan bagaimana dadanya serasa ditimpa batu besar ketika suara langkah kaki yang menjauh pelan-pelan di dengarnya, makin lama makin samar hingga tangisnya pecah. "A-aku takut," lirihnya parau.
Ia benar-benar tidak tahu haarus bagaimana menghadapi semua orang setelah ini. Dia sudah terlalu buruk di hadapan keluarganya, ia tidak bisa kembali mencoreng nama Papi sebagai anak sulung keluarga Salim.
Tangan yang gemetar itu meraih ponselnya yang ia buang sembarangan. Seluruh notifikasi pesan yang tak dihiraukannya langsung memborbardir layar kunci tepat ketika dia menyalakan ponselnya. Pesan dari Alani, Katarina, Mikaiah, Nakula—bahkan Papi yang pesan terakhirnya dikirimkan dua belas jam yang lalu sebab kini harus bepergian ke luar negeri turut diabaikannya ia baca satu-satu dari bar notifikasi. Pun dari puluhan pesan yang dikirim kepadanya, hanya milik Zaman yang Zurielle baca dari awal hingga akhir.
Papi, Elle minta maaf. |
Maaf Elle kembali ngerusak nama Papi. |
I truly don't deserve you. |
Pesan terakhir kepada sang ayah berhasil ia kirim selepas jemarinya menghapus dan menulis ulang terus menerus.
Dalam ketakutannya yang menarik dia jauh ke paalung terdalam, ia tetap membiarkan jemarinya berseluncur di sosial media, membaca seluruh sumpah serapah kepada Nakula Gatrabiru. Bagaimana komentar tidak senonoh memenuhi kolom, Zurielle membaca keseluruhannya.
Kukunya ia gigit dengan gugup, menahan takut seraya dia segera mencari kontak yang diinginkannya. Ketika teleponnya tak kunjung berdering, ia menunggu dengan seluruh kekalutannya yang tak dapat lagi dibendung. Setelah beberapa saat, terdengar suara wanita dari seberang.
Bu Arum—asisten pribadi Papi terkait urusan kerumah tanggaan—kembali menyerukan namanya saat ia tak kunjung merespon. "Iya, Zurielle? Zurielle butuh sesuatu?"
"Buy me a ticket to Boston. Tonight will do, Bu Arum. Apa bisa?" Zurielle langsung menyambar. Sepasang iris sendunya menatap sebuah koper hitam yang berdiri tanpa isi di sudut kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
to my twenties, jaejen
Fanfiction"𝘈 𝘭𝘰𝘵 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘦𝘥 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘵𝘸𝘦𝘯𝘵𝘪𝘦𝘴, 𝘢𝘯𝘺 𝘸𝘰𝘳𝘥𝘴 𝘡𝘶𝘳𝘪𝘦𝘭𝘭𝘦?" -- Bagi para borjuis, mengokohkan kekayaan dan menjaganya agar terus berkembang hingga ke generasi yang akan datang ialah apa yang...