Barusan, sebuah panggilan di ponselnya datang dari Januar. Berniat mengajak laki-laki yang baru kembali ke Indonesia di minggu kedua Januari ini untuk makan di luar. Tak ada alasan utama, si alpha hanya sadar stok bahan makanan di apart mereka kian menipis. Sebuah notifikasi pesan kembali muncul di beranda ponsel Zurielle.
| 15 menit lagi saya sampai di apart
Begitu katanya. Menciptakan dengusan sebal dari si omega. Namun dia tetap meraih chino pants berwarna khaki miliknya untuk dikenakan. Kaos biru gelapnya tetap dipakainya. Laki-laki itu sudah terlalu malas kalau harus memutar otak untuk sekadar memilih baju.
Memasang sandal Birkenstock kesukaannya yang sudah mulai pudar warnanya, kemudian omega tersebut kembali memastikan dompet dan ponselnya tetap berada di dalam saku. Lagi-lagi ia mendengus hingga tanpa sadar hidung bangirnya turut mengerut.
Kalau lelaki tersebut memang lapar, mereka bisa saja makan di sini. Apartemen mereka terintegrasi dengan hotel bintang lima yang punya beberapa restoran berkualitas baik.
Maka ketika pertanyaan itu ia suarakan kepada Januar yang tengah duduk di lobby hotel (apartment, sebenarnya sama saja) sambil membaca selebaran koran dengan saksama, jawabannya menciptakan lirikan sinis dari lelaki yang lebih muda.
"Saya kepengen makanan Indo."
Itu saja jawaban dari laki-laki tersebut. Sukses buat Zurielle menganga sambil bertolak pinggang. Matanya menatap sebuah gelas bening berisi tropical juice yang berada di sisi Januar-pastilah welcome drink dari pihak hotel sebab pemilik apartemen is considered as VVIP. Bukan sesuatu yang mengherankan sebetulnya.
"Ck, ya udah, ayo!" sebalnya. Ia berjalan lebih dahulu guna keluar dari lobby hotel beratap tinggi ini. Setiap kecupan alas kaki dan marmer hitam bercorak di sana, selalu ada bunyi hentakan kecil yang dapat Januar dengar.
"Hey, where are you going?" panggilan ringan dari Januar sontak membuat Zurielle berbalik, wajah linglungnya tak dapat disembunyikan. Langkahnya yang hendak menuju parkiran mobil terinterupsi.
"Ngg?" Alisnya nyaris tertaut bingung. Namun hal tersebut tak membuat Januar berusaha menjawab gelembung pertanyaan yang mungkin ada di kepala si omega.
"Kita gak naik mobil, tempatnya cuma di belakang Senopati." Sesuatu dikeluarkan oleh yang lebih tua dari saku celananya.
"Jan! You're expecting me to walk down the road?!"
"Pavement." Januar mengoreksi sambil ia memasangkan masker disposable di wajah suami omeganya. Yang diperlakukan hanya menerima tanpa ada tolakan.
Zurielle hanya menatap pergerakan suami alphanya yang turut mengenakan masker seperti dirinya. Tanpa banyak suara lelaki itu meraih tangan si Salim dan membawa laki-laki itu untuk mengikuti langkahnya. Zurielle tidak memberikan reaksi-reaksi sarat penolakan.
Lagipula dia tidak begitu tahu dengan seluk beluk jalanan Ibu Kota. Membiarkan tangannya bertaut dengan Januar pun meminimalisir panggilan-panggilan tidak sopan kepadanya.
"Ugh, Jakarta traffics." gerutu Zurielle sambil melirik bagaimana macetnya jalanan di jantung Ibu Kota ini. Hal yang sama juga terjadi pada trotoar—dipenuhi manusia-manusia yang juga hendak kembali pulang setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan.
"Ya Tuhan, pada ke Ashta ... " Zurielle bergumam pelan seraya mengeratkan pegangannya terhadap lengan Januar tanpa disadari sang empu. Refleksnya yang takut-takut jikalau ia terbawa pada kerumunan manusia.
Adapun Januar tidak menunjukkan ekspresi berarti di wajahnya atau mungkin sesimpel sebab masker yang menyaring polusi tidak menyehatkan paru-paru itu berhasil menyembunyikan segaris senyumnya. Sungguh, hanya dirinua dan Tuhan yang tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
to my twenties, jaejen
Fanfiction"𝘈 𝘭𝘰𝘵 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘦𝘥 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘵𝘸𝘦𝘯𝘵𝘪𝘦𝘴, 𝘢𝘯𝘺 𝘸𝘰𝘳𝘥𝘴 𝘡𝘶𝘳𝘪𝘦𝘭𝘭𝘦?" -- Bagi para borjuis, mengokohkan kekayaan dan menjaganya agar terus berkembang hingga ke generasi yang akan datang ialah apa yang...