Suara gemericik air yang berderai jatuh mengecup lantai dengan deras memenuhi seluruh telinga Januar. Berdiri di dalam bilik kamar mandi, alih-alih berendam ia memilih untuk menyiram badannya dengan derasnya air. Setiap tetesan air yang dengan pesat jatuh menusuk kepalanya, Januar bisa rasakan bagaimana bulir-bulir air itu pelan-pelan mengangkat seluruh kegundahannya.
Januar tidak tahu sudah berapa lama ia menggosok rambutnya dengan shampoo hingga busanya perlahan-lahan turun menyusuri punggung tegapnya sebelum jatuh di lantai. Pikirannya mengawang-awang jauh pada ingatannya sepanjang hari ini. Terlalu banyak hal yang diketahuinya hari ini.
Zurielle yang rupanya pernah bertunangan dan bagaimana perunangan tidak diakhiri baik-baik sebab kini keluarga dari mantan tunangan Zurielle jelas tidak menyukainya entah sebab apa. Kemudian Liana—ah, gadis itu. Mau Januar apakan gadis itu?
Eksistensi gadis itu seluruhnya aneh. Benar-benar tidak proporsional sehingga Januar benar-benar merasa terganggu. Terganggu untuk mencari tahu latar belakang gadis itu lebih jauh. Buat ia menyuruh Bima mengeruk secuil informasi dari sekolah gadis itu, BBHS, pun biasa dikenal dengan nama Bina Bangsa Highschool. Sekolah Liana, sekolahnya dahulu, juga sekolah Zurielle dahulu.
—
Beberapa jam yang lalu,
Seolah paham dengan keinginan Januar, tanpa diperintah Pak Adi sudah membawa mobil itu menyisi di pinggir jalan. Buat Januar lebih mudah untuk menyerukan nama gadis itu. "Mari saya antar, kalau kamu nggak keberatan, Liana." ucapnya serius, menatap tepat di mata gadis itu yang kini memilin tali ranselnya ragu.
"Apa nggak masalah?" Gadis itu bertanya sangsi. Wajahnya menoleh kanan dan kiri saat ia merasakan beberapa tatapan anak lain yang berseragam serupa dengan yang ia kenakan. Tapi senyum tipis dari Januar buat remaja itu tidak bisa untuk menolak tawaran sehingga kini, ia berada dalam sebuah mobil mahal yang entah akan membawanya ke mana.
Selama lima menit pertama, yang bisa Liana lihat ialah lelaki yang belasan tahun lebih tua darinya itu sibuk berkutat dengan ponselnya. Kepala penuh dengan peranyaan ini dan itu, gadis itu bersuara kecil.
"Mas—"
"Liana—"
Panggil keduanya bersamaan, berselang waktu tipis. Sehingga Januar langsung menoleh dengan salah satu alisnya yang naik sekilas sebelum mengangguk mempersilakan remaja itu. "You go first,"
"Ngg, nggak. Bukan apa-apa. Mas bicara aja." Gadis itu menunduk, tidak berani menatap Januar yang menoleh kepadanya. Sehingga lelaki kelahiran 1990 itu memutuskan untuk menaruh pandangan ke arah lain sembari dia berpikir beberapa saat.
Iris elangnya hanya menatap lurus bagaimana mobil-mobil lain mulai mendahului mereka lantaran Pak Adi selalu menjaga kecepatan berkendaranya dengan baik. Pun Januar apatis akan panggilan gadis itu teerhadapnya. "Alasan saya buat antar kamu balik ini sebenarnya karena saya mau banyak bertanya ke kamu terkait Bina Bangsa, sekolah kamu. Nggak pa-pa, 'kan?"
Liana hanya mengangguk pelan. Responnya yang kelewat takut-takut itu tidak dihiraukan oleh yang lebih tua. Pandangannya hanya jatuh pada rear-view mirror yang memantulkan siluet Abimana yang tengah sibuk dengan ponselnya dan sesekali mengajak Pak Adi berbicara kecil.
"Kamu sejak kapan sekolah di BBHS?" tanyanya sambil menyerahkan sebungkus paperbag berisi beberapa pastry yang tak lagi hangat. Ia menatap adik Nakula itu lekat-lekat, meyakinkan si remaja untuk menerima pemberiannya.
"Sejak masuk SMP, Mas." Setelah membasahi bibirnya, gadis itu menjawab pelan.
"How?" Januar langsung membalas. Tak meemberi kesempatan untuk Liana mengatupkan bibir, serangan kembali diudarakan. Saat mendapati pandangan penuh tanya Liana, Januar terkekeh sebentar dan kembali mengulang pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
to my twenties, jaejen
Fanfiction"𝘈 𝘭𝘰𝘵 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘪𝘯𝘥𝘦𝘦𝘥 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘦𝘯 𝘪𝘯 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘵𝘸𝘦𝘯𝘵𝘪𝘦𝘴, 𝘢𝘯𝘺 𝘸𝘰𝘳𝘥𝘴 𝘡𝘶𝘳𝘪𝘦𝘭𝘭𝘦?" -- Bagi para borjuis, mengokohkan kekayaan dan menjaganya agar terus berkembang hingga ke generasi yang akan datang ialah apa yang...