"Serin! Naserin!"
Aku menghela napas kasar, membanting papan jalan di genggamanku ke atas meja. Seseorang meneriaki namaku dari pintu ruangan. Tanpa aku bertanya, aku sudah tahu apa maksud panggilan itu.
"Apa?" Aku berbalik untuk menghadap pintu dan bertanya malas.
"Dipanggil Bos." Seorang rekan kerjaku bersandar pada pintu.
"Ya." Aku berbalik dan mengabaikan decihan menyebalkan rekan kerjaku.
Papan jalan di atas meja kembali aku ambil dan terus menulis laporan di atas kertas. Bau obat-obatan penuh berada di sekelilingku bercampur dengan bau alkohol. Tiga layar komputer besar menampilkan laporan reaksi obat-obatan pada dua puluh orang responden kloter.
Sepuluh menit berlalu dan aku masih berada di dalam laboratorium. Masih berkutat dengan golongan-golongan obat dan laporan reaksinya.
"Miss Serin, dipanggil Pak Val."
"Iya, sebentar." Tanpa menoleh aku adalah salah satu anak magang di lab sebelah. "Kamu jangan mau kalau dipanggil Val ke ruangannya. Biarkan seniormu saja yang membawakan Val laporan." Aku memandangnya dari atas hingga bawah.
"Saya permisi, Miss." Suara anak magang itu terdengar malu-malu lalu pergi.
Aku tidak peduli berapa lama lagi aku menghabiskan waktu di dalam laboratorium. Aku tidak peduli berapa banyak orang yang datang untuk memanggilku ke ruangan Bos. Mungkin aku tertidur di atas kursi ketika seseorang masuk dan menyabet sesuatu ke hadapanku.
"Hah!"
Mataku terbelalak kaget. Aku menegakkan tubuh, sebelah tanganku menumpu kepala yang terasa sakit.
"Serin, sudah malam."
Jarum jam di atas meja menunjukan pukul setengah delapan malam. Di sebelahku berdiri seorang wanita yang menyandarkan pinggulnya ke meja dan menatapku kasihan.
"Iya-iya."
Aku mulai bangun dan merapikan meja kerjaku. Sekelilingku sudah sepi, sebagian lampu-lampu di luar dan di ruangan lain sudah mati. Di ruangan ini hanya meja kerjaku yang masih berantakan dengan komputer dan lampu yang menyala. Meja-meja lainnya sudah bersih dengan lampu mati.
Dari laci bawah meja aku keluarkan tas laptop. "Aku ambil tas dulu di ruangan."
Ellie mengikutiku keluar lab dan memasuki ruang kerja untuk mengambil sisa barang-barangku.
"Kamu dipanggil Pak Val dari sore, belum ke sana juga?" Ellie namanya. Wanita ini temanku dari kuliah. Dia melakukan penelitian reaksi obat formula baru di lab sebelah.
Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya. "Kenapa sih kita harus ganti bos?" tempat pensil, charger, dan dompet aku masukan dengan kasar ke dalam tas.
"Kamu baru aja bertanya 'kenapa sih Tuan Rouno harus meninggal?'. Aneh kamu."
"Kenapa mesti mendadak maksudnya. Anaknya tolol, bajingan." Aku berkata pelan sambil menekan.
Ellie tertawa.
Lorong terlihat remang-remang karena banyak lampu sudah dimatikan dan beberapa sudah berganti menjadi warna kuning. Lab kami ada di lantai 4, jadi kami harus menaiki lift sampai basement untuk mencapai parkiran mobil.
Dari jauh terlihat seseorang berjalan santai dengan senter menyala di tangannya. Aku tidak ingat kalau pukul tujuh itu sudah terlalu malam dan satpam mulai berkeliling menjaga keamanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...