“Malasan.”
Aku mendongak kaget memandang pria yang berjalan di sampingku.
“Ma-“ Suaraku tercekat. “-lasan?”
Pria itu mengangguk. “Perompak gila. Merusak jalur dagang saudagar-saudagar, membuat kita ribut saja.”
“Malasan?” Bisikku hampir tak terdengar.
Malasan? Rash Lain Malasan? Malasan yang itu? Malasan yang selalu membuat telingaku berdengung? Perompak yang dihapus catatan kriminalnya dan dinobatkan sebagai pahlawan?
“Rash. Lain. Malasan?”
“Iya, Tuan Putri. Rashmune Lain Malasan. Kabar tentang dia sampai ke Tuan Putri Melusine juga?”
Kakiku tiba-tiba lemas. Belum selesai dengan rasa mual dan perut melilit saat bersama Celestine, aku sudah kembali dikejutkan dengan hal lain yang menghantam kepalaku.
Tubuhku limbung, pandanganku kabur, menggelap, dan aku tidak ingat hal berikutnya.
.
Dadaku berat seperti ditenggelamkan di dalam air dalam. Aku menarik napas terkejut seperti baru saja ditarik keluar dari dalam air. Memasukan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paru.
Mataku membelalak seperti baru bangun dari mimpi buruk. Langit-langit tinggi berwarna krem menjadi pemandangan pertamaku. Susana sekitar remang-remang dengan beberapa cahaya kuning dari api lilin.
Awalnya aku berharap akan bangun di kamar apartementku.
Nyatanya kelambu terbuka yang ada di atas tempat tidur menjadi pemandangan pertama yang aku lihat. Kain jaring-jaring kecil tipis transparan berwarna hijau muda itu di tutup mengelilingi tempat tidur ketika malam, untuk menghalau nyamuk.
Aku duduk di atas tempat tidur sambil melihat sekelilingku. Di kursi yang ada di dekat partisi yang membagi kamar Elea menjadi dua aku melihat sesosok tertidur meringkuk di atas kursi.
Dari cahaya lilin yang ada di meja aku bisa memperkirakan bahwa orang itu antara Ivy atau Menti atau pelayan lainnya.
Hal yang aku ingat adalah bahwa aku muntah-muntah di dekat pohon karena rasa mual yang tak tertahan. Lalu apa lagi? Ivy membawkau pergi menjauh dari Celestine, memasuki bangunan sayap barat.
Kami berpapasan dengan para penjaga atau polisi yang sedang membawa penjahat menuju markas militer. Penjahat itu- aku ingat katanya dia adalah penjahat yang berbahaya. Seseorang yang memporak-porandakan jalur laut para Saudagar.
Malasan.
Aku menyibak selimut kasar lalu turun dari tempat tidur. Tidak peduli suaraku akan membangunkan siapapun yang tertidur di kursi atau tidak, aku berlari melewati lorong hingga sampai di meja kerja Elea.
Lampu minyak yang ada di atas meja aku ambil dan membawanya ke obor yang ada di dekat pintu masuk. Lidi bekas bakaran yang ada di atas meja aku gunakan untuk mengambil api dari obor dan menyalakan lampu minyak.
Setelah lampu menyala dan mematikan lidi, aku buru-buru kembali ke meja kerja Elea. Papan nama kayu yang ada di atas meja aku raih dengan kasar. Jariku meraba ukiran huruf-huruf yang ada di papan nama ‘G. M. Eleanor Sonoma’.
Papan kayu itu aku bolak-balik untuk mencari mungkin ada hal lain yang belum aku lihat. Tidak ada apa-apa. Aku berjalan memutari meja untuk sampai di hadapan rak buku. Semua gerakan yang aku lakukan terlalu terburu-buru hingga menyenggol tumpukan kertas dan terjatuh berserakan.
Aku tidak peduli.
Lampu minyak kuarahkan ke rak buku untuk melihat lebih jelas. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang dan harus aku lakukan. Di dalam otakku hanya ada nama Elea. Aku harus menemukan nama lengkap Elea.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...