Aku bisa selamat karena seseorang berteriak memanggil Melusine. Masalahnya dia ada di nomor urut kedua sebagai orang yang ingin aku hindari di dunia ini selain Malasan. Siapa itu? Murid Guru Agripphina, Hendrik. Alias Papaku sendiri.
Tanpa basa-basi aku langsung berlari menjauh dari dua orang gila itu.
Ternyata aku salah. Papa Remi bukan ada di urutan kedua sebagai manusia yang tidak ingin aku temui di dunia ini.
Apa yang lebih sial? Aku bertemu Celestine sebelum berhasil menaiki tangga menara barat. Dan ternyata Celestine yang sebenarnya ada di urutan ke dua.
Mataku sudah dengan sengaja menghindari Rhea yang berjalan masuk dari taman tengah menara, langsung berbelok menuju tangga dan malah berakhir di hadapan Celestine yang datang tidak tahu dari mana.
Mau sesial apa lagi hidupku di tempat ini?
"Ada apa?"
"Kau dari mana saja seharian ini tidak kelihatan?"
Aku menepis tangannya yang terulur hendak menyentuh rambutku. "Ada apa Celestine? To the point saja, aku lelah ingin kembali ke kamar."
"Kita harus segera membicarakan pernikahan kita, Elea." Wajah Celestine yang cerah, nada suaranya yang bersemangat membuatku ingin muntah.
"Aku undang kamu makan malam, di area privat keluarga Sonoma." Jawabku cepat tanpa pikir panjang. "Bagaimana?"
Celestine diam dan terlihat jelas dari raut wajahnya kalau dia terkejut. Matanya bergerak liar, kebingungan dan salah tingkah.
"Bagaimana?" Tanyaku mendesak.
"Baiklah!" Celestine akhirnya tersenyum lebar.
.
TOLOL! SERIN TOLOL!
Aku seperti membawa kematianku sendiri ke meja makan.
Hal itu baru terlintas di kepalaku saat aku sampai di kamar.
Beberapa pelayan masih sibuk menyalakan lilin dan membawa obor untuk dipasang di beberapa titik di kamar Elea. Wewangian di sudut-sudut kamar juga mulai dibakar. Wangi mint bercampur jeruk menguap dari ruangan depan, lorong, hingga kamar.
Sementara beberapa yang lain menyalakan penerangan, sebagian lainnya menyiapkan bak mandi Elea. Termasuk Menti. Aku hampir menabrak wanita tua itu saat dia hendak keluar dari kamar mandi.
Suara langkahku yang menghentak kesal membuat pelayan-pelayan Elea menjauh.
"Nona, bunganya saya letakkan di samping tempat tidur, ya." Hanya Menti yang sama sekali tidak takut dengan aura suram yang aku keluarkan.
Aku duduk di tepi tempat tidur, memandang ke meja kecil di samping tempat tidur. Ada vas kaca berisi air dan ikatan wild rose yang aku bawa dari toko bunga.
Menti mendekat dan duduk di sampingku. Sebelah tangannya aku rasakan terulur untuk mengusap rambut panjang Elea.
"Kau sadar bahwa kau tumbuh menjadi wanita yang sempurna sebagai calon ratu? Nyonya Melusine pasti bahagia sekali jika bisa melihatmu tumbuh." Tangan Menti masih mengusap rambut Elea. Dari atas kepala terus menuruni punggung hingga ujung rambut.
"Apa lagi melihat kau tidak melupakan kesukaan ibunya, jati diri ibunya. Nyonya Melusine pasti bangga sekali padamu."
"Maksudnya?" Itu hanya sebuah bisikan. Helaan napas yang aku harap tidak terdengar.
"Semuanya. Kau persis seperti ibumu saat muda. Warna hijau akan selalu sangat cocok dengan rambut merah kalian."
Well, setengah isi lemari ku berwarna hijau. Itu warna yang sangat cocok dengan rambut jinggaku. Menambah kepercayaan diriku berkali-kali lipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
HistoryczneBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...