Aku berdiri di depan loker. Pintu lokerku yang tidak tahu bekas siapa memiliki cermin di pintunya. Rumah sakit ini sepertinya tidak memiliki seragam khusus bagi penunjang medis. Aku dan rekan lainnya mengenakan baju OK berwarna abu-abu dengan garis kuning dan biru khas Rhovertice dan petugas Radiologi dan Lab memiliki seragam yang berbeda.
Rambutku aku kepang dan digulung ke atas sebelum mengenakan penutup kepala.
"Rambutmu cantik sekali. Kamu sudah sarapan?" Thea datang dan membuka lokernya.
"Sudah." Jawabku singkat. "Semua penunjang medis milik perorangan, ya?" Tanyaku sambil menutup pintu loker.
Thea menoleh lalu tertawa pelan dan mengangguk. "Ayo, aku kenalkan pada orang yang kemarin belum kamu temui."
Intinya shift pagi memiliki tiga apoteker dan dua administrasi, shift siang tiga apoteker dan dua administrasi, satu orang shift middle sebagai pembantuan, dan shift malam dua apoteker tanpa administrasi. Sabtu dan minggu dua apoteker tanpa administrasi pada shift pagi dan siang sedangkan shift malam seperti biasa.
Pagi ini ada Thea, Sadam, dan aku lalu disusul Shew di jam sepuluh. Sebelum jam kerja aku diperkenalkan peletakkan-peletakkan obat dan alat-alat lainnya.
Maura datang untuk memberi kartu pegawaiku.
Aku memandang kartu ditanganku di mana masih ada lambang dan nama perusahaan yang sama dengan yang lama aku miliki. Ada tulisan kecil 'Rumah Sakit Umum Moondeline' di bawah tulisan 'Rhovertice Inc'. Fotonya bukan lagi aku yang baru lulus kuliah enam tahun lalu.
Satu yang aku syukuri adalah mereka menyingkat nama belakangku, Naserin Inara D. Tidak ditulis lengkap seperti kartu pegawai lamaku.
Lagi, lagi-lagi aku salah naik bus. Aku berakhir di halte Dermaga Lama.
Oh my days! Gimana bisa? Serin, tolol.
Aku mendongak dan melihat ada enam layangan terbang dari arah pantai di bawah tebing. Ini bahkan belum sore, tapi pantai sudah ramai.
Dari halte aku berjalan menyeberangi jalan karena ada kedai minuman menarik perhatianku. Aku memesan es jeruk dan duduk di kursi. Di hadapanku terbentang laut luas dengan kapal-kapal yang terlihat kecil jauh di tengah laut sana.
Jepit rambut yang dipasang di tali tas ransel aku ambil untuk menyatukan rambutku ke belakang. Angin tidak berhembus terlalu kencang, tapi tetap mengganggu pandanganku.
"Terima kasih."
"Rambutmu asli?" Tanya penjual minuman.
Pertanyaan yang sama yang akan aku dapat seumur hidupku.
Aku mengangguk sambil meminum es jeruk peras di hadapanku.
"Tidak banyak orang berambut merah jingga di sini." Kata pria itu sambil menyiapkan pesanan pelanggan berikutnya.
"Saya pendatang."
Ponselku di dalam tas bergetar. Aku mengeluarkannya dari dalam tas. Mama.
Detik itu aku berpikir untuk minta dikirimkan mobil dari rumah. Bahkan dengan angkutan umum yang terbatas saja aku tidak mampu mengatasinya.
Mama mungkin ada disela-sela meeting atau mengisi kuliah onlinenya hanya untuk berbasa-basi bertanya kabarku. Aku menceritakan sudah dua hari ini salah naik bus. Mama bilang aku hanya butuh adaptasi, bersabarlah sebentar.
Tidak sampai lima menit kemudian aku kembali termenung memandang laut.
Aku merenungi untuk apa aku menghabiskan dua setengah tahunku di kota sejauh ratusan kilometer, menyeberangi samudra, mati-matian hampir bunuh diri menyelesaikan thesis hanya untuk berakhir di tempat kecil ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
أدب تاريخيBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...