Sekujur tubuhku merinding bukan main. Isi perutku terasa menguap dan kosong hingga aku ingin muntah. Kepalaku pusing bukan main.
Siang ini aku duduk di aula singgasana yang amat luas dan berlangit-langit tinggi. Singgasana terletak di atas undakan tangga. Di belakangnya ada kaca-kaca besar dan tinggi yang memenuhi dinding. Dari kaca itulah cahaya matahari akan tembus dan membias di kaca menimbulkan efek dramatis ke arah singgasana.
Tapikan ini jadi back light.
Pakaian berkuda yang tadi pagi aku gunakan sudah berganti dengan gaun satin hijau daun gelap dengan kain sifon tipis berlapis-lapis hingga menggembang. Bahuku terbuka, bagian lengannya jatuh dan memanjang seperti selendang hampir menyentuh lututku.
Tanganku mengusap leher belakangku lalu melempar rambut licin Elea ke belakang. Rasanya aku akan muntah sebentar lagi.
Di bawah sana, di bawah singgasana berdiri lima orang pria dan tiga orang wanita.
Seorang pria yang berdiri di tengah mengenakan kemeja berwarna kuning gelap yang lengan panjangnya mengembang dan celana hitam. Pria itu mengenakan rompi ketat berwarna merah. Kancing-kancing rompinya emas dan bagian dadanya terdapat beberapa pin.
Kulitnya kuning langsat bersih dan mulus. Rambutnya yang cokelat gelap pendek tersisir rapi ke belakang.
Aku akui dia necis. Dari gestur tubuhnya mengeluarkan aura percaya diri yang kuat. Gaya berdirinya yang sempurna. Sebelah tangannya terlipat ke belakang menggantung jas panjang merah yang satu set dengan rompi merahnya. Senyumnya mengembang lebar dan tanpa ragu.
Aku akui dia tampan dan aku yakin dia juga sadar bahwa dia tampan. Aku katakan pada kalian bahwa pria tampan yang sadar bahwa mereka tampan dan tahu cara memanfaatkannya adalah makhluk paling berbahaya di dunia.
Yang Mulia Ettiene tersenyum lalu mengulurkan tangannya padaku.
"Hm?" Aku mulai kebingungan. Sebelah tanganku terangkat singkat dari atas pangkuanku untuk menyapanya. "Saya sudah sehat."
"Pergilah! Temani Pangeran Celestine duduk-duduk dan mengobrol."
Aku diam mematung. Mataku berkedip beberapa kali lalu melihat sekeliling ruangan yang super besar. Hanya ada tiga petinggi kerajaan duduk di barisan bangku sebelah kanan, rombongan dari Amaryllis, dan beberapa pengawal yang berjaga.
Kakiku agak gemetar ketika bangun dari kursi dan hendak berjalan turun. Tiba-tiba pintu aula terbuka dan hampir terbanting. Pintu kayu besar dan berat itu dengan mudah mentok ke dinding hingga menimbulkan bunyi walau tidak kencang.
Liam berjalan masuk dengan gayanya yang petantang-petenteng sambil membawa busur panah. Langkah sepatunya meninggalkan jejak lumpur karena hampir setengah tubuh Liam dipenuhi lumpur. Satu tas anak panah menggantung di pinggangnya.
"Oh, ada tamu." Liam berhenti cukup jauh dari Celestine. Dia berdiri tegap, membawa busur panahnya ke balik punggung lalu membungkuk singkat. "Selamat datang Pangeran." Liam berjalan ke arah Celestine. "Apa kabar?"
Aku dapat melihat Celestine berusaha menghindar ketika Liam semakin dekat padanya. dua orang pria yang paling dekat dengan Celestine mengangkat tangan rendah untuk menghentikan Liam.
"Oh." Liam pura-pura terkejut. "Saya kotor. Tidak seharusnya saya mendekati kau. Saya mohon maaf."
"Tidak apa-apa." Suara Celestine yang ringan dan lantang tanpa usaha membuatnya semakin mudah mengeluarkan suara. "Kau lebih baik cepat membasuh diri sebelum kuman-kuman masuk ke dalam tubuhmu, Liam."
Liam mendelikan bahu lalu berjalan menuju undakan tangga. Dia berhenti dua undakan tangga sebelum singgasana. "Saya akan pergi bersama Paman Dana ke desa tenggara Osiryan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...