Tidak ada percakapan yang berarti malam itu di meja makan. Neneknya Elea menjadi yang pertama pamit undur diri kembali ke kamar bacanya, disusul Liam lalu aku.
Sambil berjalan keluar ruang makan keluarga, aku sadar kalau Yang Mulia Ettiene sempat melirik dan memandangku sampai hilang di pintu. Pria itu juga sempat menggumamkan sesuatu supaya aku menunggunya.
Apapun yang ingin dia lakukan yang pasti aku sedang dalam keadaan yang tidak baik untuk membicarakan hal yang berat. Terutama jika itu tentang pernikahan Elea dan Celestine. Kepalaku ingin meledak rasanya.
Aku kembali ke kamar Elea dan menemukan buket bunga dan setumpuk surat di meja tepat di depan pintu masuk. Tanganku mengambil salah satu buket bunga dan menarik sepucuk surat dari buket bunga itu.
"Nona." Suara Menti datang dari dalam kamar. "Ada banyak surat dan bunga dari rakyat."
Seorang penjual roti mengirim surat ucapan terima kasih pada Elea beserta dua bunga matahari kecil. Ada buket bunga amarilis merah dari ibu penjual toko bunga langganan Elea dan Celestine. Ada setumpuk surat dari para nelayan, penjahit, guru, bahkan kaum pelajar.
"Nona mau ke toko roti besok? Besok jadwal mereka membuat roti tuna pedas kesukaan Nona, kan?" Menti dengan suara antusias bertanya. "Nanti saya minta Ivy dan Kyle menemani."
Aku baru tahu beberapa saat lalu kalau pengawal muda yang selalu terlihat menemani Elea adalah Kyle. Bersama dengan Ivy dia selalu menemani Elea pergi.
"Hm, sepertinya-" Dia sudah bilang kalau itu kesukaan Elea. Kemungkinan Elea pergi setiap mereka membuat roti tuna pedas, kan? "Baiklah! Jangan terlalu pagi."
Dua tangkai bunga matahari tadi aku bawa ke meja kerja Elea. Bunga amarilis merah di dalam vas aku keluarkan dan aku lempar ke atas meja panjang di tengah ruangan. Menggantikan bunga amarilis itu dengan bunga matahari yang baru saja aku dapatkan.
"Saya ambil vas untuk bunga-bunga yang lain dulu, ya."
"Terserahlah mau diapakan." Jawabku sambil mengibaskan tangan dan berjalan ke dalam kamar.
Jelas sekali aku dengar suara Menti menutup kelambu di sekeliling tempat tidur, aku mendengar dia berbisik pada seseorang sebelum akhirnya kamar Elea sunyi senyap. Satu lilin yang tersisa menyala di dekat lorong. Apinya bergoyang perlahan karena angin yang datang dari ventilasi-ventilasi udara.
Aku belum tertidur, bahkan bermenit-menit kemudian sampai lonceng berbunyi untuk terakhir kalinya aku belum tertidur. Sengaja aku naik ke tempat tidur lebih awal untuk menghindari Yang Mulia Ettiene. Entah apa yang ingin dia sampaikan, aku tidak siap.
Persetan segala ungkapan bahwa aku ingin mempercepat segala supaya bisa cepat pulang. Nyatanya, melihat Malasan di tengah Aula Singgasana sepanjang siang hingga sore membuat aku-
Ya, tetap ingin pergi dari sini secepatnya tentu saja. Tapi cara Yang Mulia Ettine berbicara padanya setelah dia mengusir perwakilan Dewan Saudagar pergi membuat aku merasa ada yang salah.
Ada banyak hal yang terlewat saat aku membaca riwayat hidup Malasan waktu itu. Ada sangat banyak hal yang belum aku ketahui. Dan aku ingin tahu apa itu.
Dari gaya, perawakan, dan pembawaannya aku paham kenapa anak-anak muda tergila-gila padanya. Selain dari itu, aku ingin tahu apa yang membuat dia menakjubkan bagi rakyat Moondeline. Bahkan setelah ratusan tahun kemudian, sosoknya masih membuat banyak orang tergila-gila.
Tepat sebelum aku membalik tubuhku karena tidak nyaman, aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Suara langkah sepatu yang berat terdengar samar-samar dan semakin dekat ke arah kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historische RomaneBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...