Sore itu Yang Mulia Ettiene datang ke kamarku untuk menyeretku makan malam di ruang makan keluarga. Kali ini pria itu mengenakan mahkota dari pilinan perak membentuk gulungan ombak. Di setiap pusat gulungan ombak itu ada batu berwarna biru.
Aku mengikut di belakangnya dengan terpaksa. Saat mengikut di belakangnya, aku dapat melihat lorong panjang di hadapanku. Di bagian kiri lorong ada ruangan-ruangan lainnya sementara di sebelah kanan ada deretan jendela-jendela.
Bangunan ini berbentuk kotak tinggi yang bagian tengahnya terbuka. Sekeliling bangunan ini adalah ruangan-ruangan termasuk kamar Elea. Ada balkon panjang di satu sisi bangunan tidak jauh dari pintu kamar Elea.
Di ujung lorong di lurusan kamar Elea ada tangga turun dan naik. Aku masih mengikuti Yang Mulia Ettiene sementara di belakangku ada dua pengawal yang mengikuti. Turun dua lantai lalu berbelok menuju bangunan lain.
Aku menoleh ketika memasuki bangunan lain. Tempat ini seperti dipenuhi banyak pengawal yang membawa pentungan dan pedang di berbagai sudut. Kami memasuki satu lorong pendek yang di sebelah kanan, kiri dan ujungnya ada pintu-pintu besar. Di sepanjang dinding lorong itu digantung obor dan lampu minyak.
Kami memasuki ruangan di ujung lorong.
Ada foyer yang hanya berisi kabinet rendah dengan dua lilin tinggi di atasnya. Di dindingnya tergantung lukisan seorang pria tua mengenakan jubah bulu dengan kepala beruang sebagai hoodie yang aku yakin kalau itu asli. Kepalannya mengenakan mahkota emas tinggi dengan lambang bulan sabit di atasnya.
Yang Mulia Ettiene berbelok ke sebelah kanan dan aku mengikutinya. Ada ruangan yang cukup besar, di tengahnya ada meja makan bundar yang dikelilingi enam kursi. Ada Ibu Bertha dan seorang wanita tua yang sudah duduk di kursi.
"Duduk Lea!" Wanita tua itu mengulurkan tangannya dan menarikku duduk di sampingnya.
Kebingungan tidak tahu apa yang harus aku lakukan, akhirnya aku menurut dan duduk di kursi sebelah kanannya.
"Kau mau duduk di sebelah nenek?"
Aku mengangguk pada Yang Mulia Ettiene.
"Ya, sudah biar adikmu yang duduk di sini."
Nenek-nenek di sebelahku mengusap pelipisku dan merapihkan rambutku. Dia juga menanyakan bagaimana kabarku, apakah aku sudah merasa membaik.
Aku hanya mengangguk-angguk.
Tidak lama kemudian Rhea datang membawa piring besar berisi potongan-potongan buah. Dia meletakkan piring itu di tengah-tengah meja.
"Kakak sudah membaik?"
Di sebelah kiriku ada nenek Elea, kursi kosong, lalu Yang Mulia Ettiene, Nyonya Bertha, lalu Rhea. Ada satu kursi kosong yang menghalangi aku dengan Rhea.
"Silakan Ibu Suri, susu jahenya." Seorang pelayan meletakkan gelas susu di hadapan nenek di sampingku.
"Terima kasih, nak!"
Tidak lama kemudian seorang pemuda datang. Dia meletakkan busur panah dan tas anak panah di dekat pintu sebelum berjalan masuk dan duduk di samping Yang Mulia Ettiene.
Pemuda itu berambut hitam panjang dan dikuncir. Dia mengenakan celana panjang dan tunik hitam panjang. Pemuda itu sempat memandang ke arahku sebelum membalik piring di atas mejanya.
"Kau sudah sembuh, Le?"
Yang Mulia Ettiene memukul pelan paha pemuda itu. "Yang sopan pada kakakmu."
"Lea saja tidak masalah."
"Ssstt! Makan!"
Aku dapat melihat pemuda itu melirik sinis sekilas pada Ibu Bertha.
Makan malam itu dipenuhi pertanyaan dan semangat dari Rhea tentang mereka yang akan dilukis oleh pelukis. Kata Yang Mulia Ettiene pelukis kerajaan tidak bisa datang karena sedang keluar kota tapi dia akan mengirim murid terbaiknya yang sudah disiapkan untuk meneruskan pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
أدب تاريخيBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...