Pagi itu aku tidak melihat Rhea di meja makan. Begitu juga pagi kemarin, dan kemarinnya lagi. Sejak Ibu Suri Haelyn marah beberapa hari lalu suasana meja makan menjadi lebih tidak nyaman.
Dan tidak ada yang berrani bersuara.
"Elea-"
Aku mengangkat kepala dan menoleh ke arah Yang Mulia Ettiene.
"Nanti siang kita jemput keluarga Amaryllis di Dermaga Besar, ya."
Oh.
Rasanya kepalaku dihantam sesuatu yang berat.
Aku melihat ke arah lain. Ibu Bertha tersenyum tipis sambil mengangguk. Ibu Suri Haelyn lebih memasang wajah datar. Liam terlihat tidak peduli.
Dari yang aku tahu, neneknya Elea tidak menentang pertunangan Elea dengan Celestine. Ibu Suri Haelyn hanya mempertanyakan keputusan tersebut. Nenek-nenek itu sadar kalau pertunangan ini sedikit-sedikit membawa keuntungan bagi mereka. Tapi apakah keuntungan itu sebanding dengan mengorbankan Pewaris Utama Tahta kerajaan Meramoon?
"Oke."
Oh my days!
Aku tidak pernah ada di dalam kegiatan sebesar ini sebelumnya. Kegiatan yang super besar dimana aku menjadi pemeran utama di dalamnya.
Pengamanan ketat diberlakukan sepanjang jalan dari Dermaga Besar menuju Meramoon. Banyak prajurit dan pengawal ditugaskan. Warga Moon te Raina berkerumun memenuhi jalanan untuk menyambut calon besan mereka dari kerajaan seberang.
Rasanya aku akan muntah sebentar lagi.
Yang Mulia Ettiene mengenakan salah satu mahkota kebesaran, duduk nyaman di sampingku. Kami berada di satu kereta kuda yang sama. Di kereta kuda satu lagi ada Ibu Bertha dan Rhea. Ibu Suri Haelyn menolak untuk ikut dan tetap di rumah.
Liam?
Jangan ditanya. Dia lebih memilih untuk berada di barisan pengamanan jarak jauh bersama pemanah lainnya.
Tidak tahu sudah berapa lama kami keluar dari gerbang kerajaan. Suara burung camar mulai terdengar. Artinya kami mendekati lautan. Di luar, sepanjang jalan rakyat terus berseru-seru, memuja-muja raja dan putrinya.
Kereta kuda akhirnya berhenti.
Tanganku terasa disentuh.
Yang Mulia Ettiene tersenyum lebar padaku. Pada Elea, anak perempuannya.
Aku menghela napas perlahan lalu menarik tanganku dan membuka pintu kereta kuda.
Oh, aku akan pingsan.
Ada 1 kapal yang bersandar pada Dermaga Besar. Kapalnya besar dan terlihat mewah. Layar-layarnya yang berkibar mulai digulung oleh awak kapal yang memanjat tiang. Bendera paling atas dan paling depan kapal berkibar berwarna merah terang dengan lambang setangkai bunga amarilis dan 3 kelopak bunga yang gugur .
Di bawah kapal, Celestine dan rombongan kedutaan berbaris.
Aku mengikuti Yang Mulia Ettiene berdiri di samping rombongan kedutaan Amaryllis. Tangan Yang Mulia Ettiene terulur menggenggam tanganku.
"Tidak apa-apa." Yang Mulia Ettiene merendahkan kepalanya, berbisik padaku. "Kau bisa pegang kata-kata Papah. Pasukan kita selalu siap untuk perang."
"Hm." Aku hanya bergumam.
Padahal dia sendiri yang menunjukkan kekhawatiran kalau laut Moon te Raina akan ditembus musuh.
Saat berdiri di dermaga itulah aku melihat di kejauhan ada 5 kapal perang yang mengibarkan bendera Meramoon. Di dekat mereka ada 1 kapal perang besar dan 3 kapal perang yang lebih kecil. Mereka mengibarkan bendera Amaryllis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Ficción históricaBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...