"HAH!"
Aku menarik napas kaget seperti baru keluar dari menyelam selama delapan menit. Mataku nyalang memandang ke langit-langit. Napasku memburu cepat.
"Elea!"
"Ah!" Aku terlonjak kaget ketika sesosok pria bertubuh besar menjulang di atasku.
Oh, shit. Siapa Elea?
"Bangun, Nak! Minum dulu, yuk!"
Anehnya aku tidak menolak ketika pria itu membantuku untuk duduk. Wanita tua tadi mengambil gelas berisi air, membuka tutupnya, dan memberikannya pada pria di sampingku.
"Minum dulu!"
Aku merebut gelas itu dan meminumnya berteguk-teguk sekaligus.
"Pelan-pelan!" Wanita itu mengusap punggungku.
"Sudah? Kau sudah baik-baik saja? Apa yang kau rasakan? Elea kenapa?"
Aku menarik kakiku ketika pria itu menyentuh kakiku untuk mengusap dan memijit pergelangan kaki.
"Elea?"
Aku berhenti menenggak air di dalam gelas, mataku melirik ke arah pria berkemeja cokelat bermodel aneh yang duduk di tepi kasurku.
"Tenang! Tarik napas! Pelan-pelan!" Pria itu jelas memandangku dengan khawatir. "Kau kenapa? Mimpi apa? Mimpi buruk?"
Gelas minum di tanganku aku kembalikan ke wanita yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Aku mengangkat kepalaku dan melihat sekelilingku. Ada dua pemudi berdiri di dekat lorong, dan seorang wanita tua lainnya di belakang pria di sampingku.
"Apa yang Tuan Putri rasakan?" Wanita tua di belakang pria itu bertanya.
Aku tidak mau memainkan permainan ini. Aku tidak mau ada di mimpi ini.
"Aku-" Aku berdeham bingung mau mengatakan apa.
"Sudah tidak apa-apa." Pria itu bangun sambil mengusap kepalaku. "Menti, tolong ambilkan Elea makan!"
ELEA SIAPA?
Tanganku meraba rambutku dan menariknya ke depan. Mengusap rambut panjang licin berwarna ruby burgundy.
Anjing, aku pergi hanya untuk menjauh dari Val bukan untuk mimpi buruk ini.
"Bangun! Kau belum sarapan."
Aku tidak menolak ketika pria itu menariku bangun dari atas kasur dan membimbingku jalan menuju ruangan lain. Saat melewati lorong, aku tahu ada dua ruangan di kanan dan kiri lorong. Tidak terlalu besar, di sebelah kanan dari arah kamar ada wardrobe dan di sebelah kiri adalah kamar mandi.
Di ujung lorong ada ruangan yang sebesar kamar tidur tadi. Ada double pintu super besar berwarna cokelat gelap. Ada set tempat duduk, meja kaca panjang di tengah dikelilingi satu sofa panjang dan tiga sofa kecil lainnya. Di sebelah kanan dari lorong ada set meja kerja dengan rak buku super besar menempel pada dinding. Di atas langit-langit tergantung chandelier yang sama dengan di bagian kamar.
Jajaran tanaman-tanaman kecil dalam ruangan tersusun di rak di dekat jendela besar. Ada partisi ruangan yang membatasi pintu masuk dengan ruang duduk. Di dekat pintu ada kabinet kaca berisi sepatu-sepatu.
Ada jendela teluk yang sama seperti di kamar.
"Nona."
Aku duduk di sofa panjang, di samping pria gemuk yang tadi. Salah satu wanita yang tadi berdiri di dalam kamar menyampirkan selendang di bahuku.
Di atas meja tersaji berbagai macam hidangan. Aku mengambil mangkuk kecil dan menyendok kuah kari lalu mengambil sepotong roti. Roti itu aku sobek kecil, aku celupkan ke dalam kuah kari dan memakannya.
Kunyahan keduaku berhenti ketika seseorang menyodorkan sendok ke hadapanku. Pelan-pelan aku mengambil sendok itu. Roti di tanganku aku sobek kecil-kecil lalu memasukannya ke dalam mangkuk.
Tiga gelas disediakan di hadapanku, air mineral, susu, dan sari buah atau jus. Aku makan setenang yang aku bisa walau rasanya aku ingin berteriak. Aku takut, kebingungan, marah, cemas.
Pria yang duduk di sampingku hanya memakan roti dengan mentega sambil bersandar pada sofa. Salah satu pemudi sibuk memotong-motong buah dan menyajikannya pada piring besar. Wania-wanita lainnya aku dengar berkegiatan di dalam kamar mandi.
Menti, wanita tua yang tadi masuk ke dalam kamar dari luar. Dia membuka pintu kayu besar itu dengan tenaga yang besar. Menti berlutut di seberang meja.
"Yang Mulia, Tuan Dana ada di depan."
HAH?!
Aku melirik ke samping kananku. Pria itu menghela napas lalu duduk tegak.
"Suruh masuk!" Pria itu menarik selimut rajut yang tersampir di sandaran sofa dan meletakkannya di pangkuanku.
Seorang pria berseragam aneh masuk. Seragamnya biru gelap dengan kancing bulat-bulat emas. Ada pin atau bros emas berbentuk lingkaran dan bentuk bulan sabit di dalamnya.
Pria berambut cokelat gelap itu masuk beberapa langkah lalu berjalan berlutut mendekat ke meja.
"Putri Elea sudah sehat?"
Aku meringkuk menjauh sambil membuang muka.
"Ada apa, Dana?"
"Maaf mengganggu Yang Mulia, perwakilan Dewan Saudagar menunggu Yang Mulia Ettiene di ruang rapat."
Dewan Saudagar?
"Ck." Pria di sampingku, Yang Mulia Ettiene meletakkan sisa rotinya di piring dengan kasar. "Mau apa lagi mereka." Yang Mulia Ettiene bangun dari duduknya, tangannya terulur untuk menepuk kepalaku. "Dengar! Papah minta maaf atas pertengkaran kita kemarin, ya. Papah pergi dulu. Dihabiskan makannya, ya!"
Papah?!
Dana ikut berdiri dan menyerahkan jas berekor yang lebih mirip jubah berwarna putih gading yang bercorak emas.
Benang-benang emas membordir jubah lengan panjang itu dari kerah turun ke dada, dari sepanjang bahu ke lengan, dari kerah turun ke punggungnya. Bordirannya berbentuk garis-garis dengan panjang berbeda di akhiri dengan sebentuk tetesan air.
Kemeja cokelat berkerah panjang bergelombang dan berlengan panjang dimasukan ke dalam celana bahan putihnya yang agak ketat pada bagian atas. Jubah putihnya dia balik dan dia kenakan secara dramatis. Buntut jubahnya menyibak saat dikenakan.
Bros bulan sabit yang sama terpasang di kerah sebelah kiri. Di bagian bawah brosnya ada rantai tipis yang ujungnya pin bulat kecil untuk dipasang di kerah sebelah kanan.
Pakaian paling berlebihan yang pernah aku lihat secara langsung.
Yang Mulia Ettiene merangkul bahu Dana dan berjalan keluar dan menghilang di balik pintu. Dua pria yang rambutnya mulai beruban itu terlihat memiliki wibawanya masing-masing.
"Nona Elea, bak mandinya sudah siap."
Aku berakhir telanjang di dalam bak mandi di ruangan sebelah kanan di tengah lorong. Air di dalam bathtub dipenuhi bunga-bunga berbagai warna dan berbagai jenis. Aku mendongakkan kepalaku melihat lilin-lilin menyala di dinding, rambutku yang sebenarnya bukan rambutku tergantung keluar bathtub supaya tidak basah.
Semuanya. Semunya, tubuh ini bahkan bukan milikku.
Aku mengangkat tanganku ke atas, menerawang menggunakan cahaya lilin yang terbatas. Tangan ini terlalu kurus, jemarinya panjang dan lentik. Kulit yang putih bersih hampir pucat membuat pembuluh darah biru di bawahnya terlihat.
Kepalaku menunduk melihat bagian tubuhku yang lain. Kulitku tidak sepucat ini. Dadaku tidak setipis ini dan aku tersinggung. Tubuh kurus, perut rata, paha kecil ini membuatku tersinggung.
Tapi aku menginginkan rambut dan mataku kembali.
Keluar dari sini tubuhku akan wangi kembang tujuh rupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...