Pagi-pagi aku meminta izin pada Yang Mulia Ettiene dan Menti kalau aku ingin pergi ke luar sebentar. Beralasan hanya berjalan-jalan di desa mencari suasana baru dan angin segar.
Padahal aku meminta Kyle dan Ivy mengantarku ke rumah Guru Agripphina. Walaupun dalam hatiku sebisa mungkin aku menghindari Papa Remi, aku merasa harus tetap berbicara padanya.
Menti menyiapkan celana bahan hitam, blouse krem bunga-bunga, selendang hijau, dan tudung abu-abu. Aku mengusulkan supaya kita pergi dengan penyamaran seperti kemarin. Tidak banyak mendapat perhatian rakyat membuatku lebih nyaman dan merasa aman.
Di salah satu laci di kamar Elea aku pernah melihat belati Aku mengambil belati itu dan mengikatnya di pinggang. Tidak untuk apa-apa, aku hanya ingin merasakannya.
Elea memiliki belati pasti ada alasannya.
"Tuan Putri?" Suara Kyle terdengar dari luar kereta kuda.
Aku melirik pada Ivy supaya dia menyahuti Kyle.
"Mungkin Tuan Putri ingin lihat dulu."
Dari jendela kecil di depan kereta kuda yang terbuka aku dapat melihat sedikit pemandangan di luar. Kami sudah sampai di rumah Guru Agripphina. Di luar rumah ada beberapa orang dan kuda yang diikat.
Aku tidak bisa melihat seluruhnya tapi aku tahu mereka sedang kedatangan tamu lain.
"Ada apa?" Tanyaku.
Ivy menggeleng.
Kereta kuda kami yang dikendarai Kyle dan seorang kusir berhenti tepat di depan rumah Guru Agripphina. Akhirnya aku bisa melihat pemandangan pekarangan rumah Guru Agripphina dari jendela yang lebih besar disampingku.
Beberapa orang yang aku tahu sebagai murid-murid Guru Agripphina sedang bercengkrama dengan tamu mereka. Ada 2 kuda yang diikat di pohon besar yang ada di pekarangan.
"Tunggu di sini!"
Kyle turun dan berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah Guru Agripphina untuk berbicara pada salah satu murid Guru Agripphina.
Aku jelas tahu siapa tamu yang sedang berkunjung. Pria besar yang sedang berbincang dengan murid-murid Guru Agripphina adalah teman laki-laki Malasan.
"Ayo, Ivy!"
Pintu kereta kuda aku buka tanpa menunggu persetujuan Ivy atau Kyle. Saat kakiku menginjak tanah, telingaku berdengung.
"Hai, selamat pagi!" Sapaku sambil mengangkat tangan.
Murid-murid guru Agripphina dan 1 teman Malasan tiba-tiba berdiri tegak lalu membungkuk hormat.
"Eh, biasa saja. Jangan berlebihan!" Aku mengibaskan tangan pada mereka. "Sepertinya aku datang diwaktu yang tidak tepat, ya?"
Untungnya lingkungan rumah Guru Agripphina tidak ramai. Orang-orang sudah pergi bekerja di ladang dan peternakan.
"Mohon maaf, Tuan Putri. Kami tidak tahu kalau Tuan Putri akan datang." Pria tinggi di hadapanku berbicara.
"Aku juga tidak ingin orang-orang tahu." Aku melihat ke arah rumah mencari sesuatu. "Aku ingin bertemu Hendrik."
Bukan lagi sebuah pertanyaan yang aku keluarkan. Aku tidak butuh izin siapapun. Aku butuh bertemu Papa Remi.
"Tuan Hendrik-" Gadis muda di sebelah pria tinggi itu sedikit ragu lalu berbalik melihat rumah. "Sedang ada tamu, Tuan Putri." Dia tersenyum canggung menatapku.
"Kalian bisa katakan kalau aku datang." Kataku.
"Bisa, Putri Melusine." Teman Malasan menjawab dengan tegas lalu setengah berlari ke arah rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...