Aku berdiri dek kapal yang mengarah ke pulau yang baru saja kami lewati. Tidak tahu sudah berapa lama aku berada di atas kapal ini. Kapal terlihat berjalan cukup cepat karena bantuan angin.
Rasanya aku ingin muntah, perutku mual, kepalaku pusing. Bukan karena mabuk laut atau dengung di telingaku, tapi ada hal lain selain itu. Dan aku tidak tahu apa.
Pertama Mister Tarrent.
Seluruh dunia tahu Elea disukai orang-orang tua. Untuk ukuran orang tua yang hidup di lautan dan bebas seperti dia, rasanya cara dia memperhatikan dan meladeni Elea sedikit berlebihan. Seolah dia sudah mengenal Elea sebelumnya.
Masalahnya ini hal-hal yang tidak Elea tulis di buku hariannya.
Kedua-
BAGAIMANA BISA NAMA KAPAL INI Eild Rose?
Wild rose itu arti namaku. Naserin. Naserin artinya wild rose.
“Kau baik-baik saja?” Malasan ikut berdiri di sampingku.
“Hm?”
“Telingamu tidak terasa akan mengeluarkan darah, kan?” Tanyanya dengan senyum lebar.
Aku menggeleng pelan. “Menurutmu kenapa?”
Malasan menunduk melihatku.
“Kenapa telinga kita berdengung?”
Malasan tidak menjawab. Dia masih memandangi wajahku. Wajah Elea.
Aku melangkah menjauh ketika merasa Malasan mendekatkan wajahnya.
Malasan berdeham, berdiri tegak, dan memandang ke arah laut.
“Takdir. Kau percaya takdir? Takdir yang mempertemukan kita lagi.”
“Lagi?” Suaraku sedikit lebih tinggi. “Kita pernah bertemu sebelumnya?” Keningku berkerut.
Malasan melirik dengan ujung matanya dan tersenyum menyebalkan.
“Sebentar lagi kita sampai. Sebelah sini!”
Malasan mengajakku ke bagian depan kapal. Menaiki dua undakan tangga, terus berjalan hingga pembatas paling ujung di depan.
Sebuah teropong kecil dikeluarkan dari dalam saku dan Malasan berikan padaku. Tangan Malasan terangkat untuk menunjuk apa yang ada di depan.
Beberapa jauhnya di depan sana ada pulau yang agak tinggi. Aku melihat 1 menara tinggi di sisi lain pulau dan menara yang lebih pendek di sisi terdekat dari kami berada.
Pulau itu berbentuk bukit kecil. Dataran paling tingginya berdiri rumah besar.
Banyak kapal-kapal bersandar dan lepas di sekeliling pulau, berbagai ukuran dan sebagian adalah kapal perang.
Malasan berdiri tepat di belakangku, dia berbisik. “Itu rumah kami.”
.
Pulau ini yang kata Yang Mulia Ettiene tadinya milik keluarga Hervé. Pulau yang Malasan rebut berapa tahun lalu. Noted : Di beli oleh mereka, bukan rebut paksa.
Bagian rendah dari pulau itu dibuat dek–dek dermaga yang bahkan bisa menampung kapal perang besar milik mereka. Ada 1 kapal perang lain yang seukuran dan 3 kapal perang yang lebih kecil dan ramping. Sisanya adalah kapal dagang dan nelayan biasa.
Dataran yang sedikit lebih tinggi dari dek kapal berdiri bangunan–bangunan kecil. Berjalan kehidupan normal di sana, pria-pria bekerja, ibu-ibu berkegiatan, anak-anak berlarian.
Bangunan-bangunan itu bukan hanya rumah tempat tinggal, ada tempat jual beli, bahkan sekolahan.
Semua orang berteriak, bersorak-sorak, memukul kentongan, dan meniup terompet. Semua orang baik di atas kapal yang bersandar, kapal yang sedang lepas di laut, dan orang-orang di atas pulau menyambut kehadiran Malasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Ficção HistóricaBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...