Ada sebuah bangunan, semacam kuil terbuka yang lebih mirip gazebo berdiri di hadapanku. Dari luar, aku dapat melihat ada sebuah makam tepat berada di tengahnya. Di belakang makam itu ada altar dengan lukisan, beberapa batang lidi garu yang terbakar dan mengeluarkan wangi, dan dua vas bunga dengan bunga lily putih yang sudah layu.
Kuil itu berdiri di bawah pohon super besar yang rindang. Aku mendongak memandang dahan-dahan di atasku. Pohon ini terlihat cukup tua, jika hujan dan angin kencang sedikit saja, mudah bagi dahan-dahan besar itu jatuh.
Aku mengangkat sedikit kain yang dililitkan ketat di pinggangku untuk bersiap menaiki undakan tangga. Di pintu masuk ada dua daun yang di bentuk menjadi mangkuk yang di dalamnya ada kelopak bunga mawar, kulit jeruk, dan daun pandan yang diikat.
Kakiku bergerak untuk menyingkirkan dua mangkuk sesajen hingga jatuh ke tanah. Isinya sudah mulai layu, tadi aku lihat Menti membawakan sesajen baru untuk di letakkan di pintu masuk kuil.
Aku berdiri di hadapan makam yang dilapisi batu marmer putih bercorak abu-abu. Di tanganku tergenggam tiga tangkai bunga lily putih yang diikat menggunakan pita hijau.
Di kepala makam terukir sebuah kalimat 'Ratu Besar Meramoon dari Nasshire, Yang Mulia Ellesya Sigertem Sonoma' yang dilapisi cat hitam.
Di bawah tulisan itu terukir lagi kalimat yang panjang, 'Terbaring istriku tercinta. Cinta, kasih, dan separuh hidupku sudah pergi bersamamu. Terbaring ibunda terkasih pewaris tahta kejayaan Meramoon. Ellesyaku terkasih, sampai jumpa di tempat terindah, di hadapan Tuhan kelak. Kekal abadi kita akan bersama.'
Tubuhku merinding seketika, membayangkan kalimat itu dibuat oleh seorang suami yang menikah lagi setelah istrinya meninggal. Tanganku meraba tengkuk untuk melempar rambut panjang Elea menjauhi leher yang mulai basah.
Menti berlutut di hadapan makam dan meletakkan sesajen baru di dekat kepala makam. Beberapa saat kemudian, dia malah bersimpuh di sisi kiri makam. Kedua tangan Menti mengatup di depan dadanya, kepalanya menunduk, dan matanya terpejam.
Di luar kuil, aku melihat satu pelayan dan tiga pengawal yang mengantarku berdiri sambil menunduk, memejamkan mata, dan mengatupkan tangan di depan dada.
Dilihat dari dua buah obor yang tergantung di tiang, tempat ini akan diterangi cahaya jika malam. Aku melangkah mengelilingi makam untuk sampai di depan altar. Lukisan yang tergantung tentu saja lukisan Mendiang Ratu Mel- Ellesya lengkap dengan rambut merah dan gaun hijau.
Aku kembali memutari makam hingga berdiri di tempat semula, di kaki makam dekat dengan pintu masuk kuil. Pandanganku tertuju pada kepala makam di mana terukir nama ibunya Elea di sana.
"Melusine." Bisikku.
Kenapa bukan dia saja yang Melusine.
Aku bisa muntah jika naik kereta kuda seperti ini terus-terusan. Perjalanan dari kerajaan menuju makam membutuhkan waktu dua puluh menit dan sekarang kami menuju Rumah Guru Agripphina.
"Bangunan apa itu?"
Ada sebuah bangunan putih besar yang dapat dilihat dari makam ibunya Elea. Bangunan tinggi yang memiliki atap berkubah. Tiang-tiangnya yang besar terlihat kokoh dan mengintimidasi.
"Gedungnya Dewan Saudagar."
"Apa Malasan akan disidang di tempat itu?"
Menti menghembuskan napas berat, wanita tua itu tersenyum padaku lalu mengulurkan tangannya.
Aku meludah sebelum tangan Menti sampai untuk menyingkirkan rambut yang terbawa angin dan menyangkut di mulutku saat aku bicara.
Menti tertawa. Tidak menjawab apapun tentang Malasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...