Kini aku berdiri berdua dengan Papa kandungku. Kapan terakhir aku bertemu dengannya? Kapan terakhir kali kami bertatap muka berdua seperti ini?
Bahkan saat aku mendapat gelar Masterku saja dia tidak ada di sana. Bahkan saat perayaan kecil-kecilan dia tidak ada di sana. Bahkan saat aku undang makan malam berdua di apartemenku saat pertama kali aku kembali ke Caverdyn dia tidak datang.
Bahkan saat pesta keberhasilannya aku tidak diundang. Bahkan saat pesta ulang tahunnya, dia merayakan di belahan bumi lain padahal aku sudah bilang kalau aku sedang ujian dan tidak bisa pergi. Bahkan saat aku menawarkan untuk merayakan ulang tahunnya sekalian saat ulang tahunku dia tidak datang.
Sekarang di sini, di tempat asing, di dunia lain, aku berdiri berdua dengan papaku. Kami saling berhadapan dengan suasana canggung seperti orang yang tidak saling kenal.
"Ada apa? Nanti banyak orang curiga jika kamu ada disini berdua denganku terlalu lama. Kamu ingin apa?"
Aku menghela napas dan mengabaikan pertanyaannya. Mataku beralih ke benda apapun asal jangan mata hijau Papa Remi. Mata yang sama dengan yang aku miliki. Aku bukan Elea.
Aku melangkah untuk melihat kanvas-kanvas kosong, lukisan-lukisan yang belum selesai hingga sampai di jendela besar.
"Apa, ya?" Kataku pelan.
"Nas-"
"Papa tahu-" Aku menelan ludah masih sambil memandang ke luar jendela. "Aku bahkan lupa kapan terakhir kali berbicara denganmu empat mata. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bertemu denganmu secara personal. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali ada seseorang yang memanggilku 'Nas'. Aku bahkan lupa kalau papaku adalah seorang pelukis, bukan polisi."
Sunyi. Tidak ada balasan.
Aku berbalik, pinggulku aku sandarkan pada kusen jendela.
"Aku tidak peduli apa yang Papa lakukan." Kataku sambil melihat sekelilingnya. "Papa tahu aku siapa? Aku bukan Elea, Pa." Tanganku mendorong tubuh menjauhi jendela dan melangkah mendekati Hendrik. "Bukan Eleanor." Bisikku serendah mungkin. "Aku Melusine."
Papa terlihat mengangguk pelan.
"Melusine, Pa. Ratu Besar Melusine yang mengalahkan Amaryllis pada pertempuran. Kekasih hati si Perompak Malasan. Kamu tahu sejarah itu? Oh, tentu saja! Bukankah beberapa minggu lalu lukisanmu baru terjual mahal?"
Setengah rambut ikal papa menutupi wajahnya yang menunduk.
Fun fact, Papa Remi sebenarnya takut padaku. Apa lagi jika aku marah. Ditambah jika aku mulai mengungkit kesalahannya.
"Apa judulnya, Pa? The Queen te Marama?" Satu langkah lagi aku mendekatinya. "Kamu mau aku berada dalam pertempuran itu?"
"Nas, dengar!" Papa Remi satu langkah maju mendekatiku. "Aku sama sekali tidak tahu kalau kamu yang ada di sana. Papa sama sekali tidak tahu kalau kamu adalah Target papa di sini. Papa sama sekali tidak bermaksud-"
"Target? Papa ini semua apa, sih?"
Papa Remi diam, terlihat menarik napas panjang. "Papa jelaskan saat kita kembali."
"Melihat apa yang ada di dalam sejarah, aku akan mati jauh sebelum kamu bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pa."
"Kamu tidak akan mati, Nas. Sejarahnya tidak seperti itu. Papa tidak akan-"
"Oh, bagaimana jika aku ubah saja semuanya!" Aku memotongnya sebelum pria ini mengeluarkan janji kosong lainnya. "Tidak ada pertempuran, tidak ada Malasan, tidak ada Ratu Melusine."
"Tidak. Bisa. Begitu." Papa meraih kedua bahuku dan mencengkramnya. "Kamu tidak diperbolehkan untuk mengubah sejarah. Aku di sini menuntun dan mengawasimu untuk membawa Melusine menuju takdirnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...