Kepalaku kosong, jantungku berdebar dan napasku berat. Setelah keluar dari perpustakaan, aku tidak berakhir di tempat pembelanjaan atau di apartemen. Aku salah naik bus dan berakhir di halte di bawah bukit, bersama rombongan study tour mahasiswa.
Kepalang tanggung. Aku naik ke atas bukit, membeli tiket museum dan masuk ke dalamnya.
Tempat ini adalah museum sejarah. Cerita turun-temurun sejarah Moondeline berabad-abad lalu dituangkan dalam lukisan dan benda-benda peninggalan. Ada patung-patung anggota kerajaan Meramoon yang berjaya dan berpengaruh. Prajurit dan pahlawan kerajaan Meramoon, tentang pengguna pedang dan pemanah terhebat dari masa ke masa.
Aku mengikut di belakang rombongan mahasiswa karena mereka memiliki pemandu yang bercerita tentang lukisan-lukisan di hadapan mereka. Sejarah diawali dari bagaimana- siapa itu namanya aku tidak dengar- membangun perusahaan dagang di pulau ini hingga membentuk kerajaan pemerintahannya sendiri. Cerita dilanjut dengan kejadian-kedian besar disetiap keturunannya.
Rombongan berbelok ke sayap kanan gedung. Di tengah-tengah ruangan yang besar itu ada tembok pembatas yang digantung sebuah lukisan besar.
Lukisan dari belakang seorang wanita berambut merah. Rambutnya lurus panjang diikat setengah lalu dihiasi bunga-bunga. Dia mengenakan gaun mengembang berwarna hijau.
Latar lukisan itu adalah pohon besar yang ada di sebuah taman bunga indah. Ada kolam yang tampak di pojok lukisan.
"Lukisan ini baru dikirim tiga minggu lalu ke sini. Dilukis oleh pelukis terkenal Remi Dante dengan judul The Queen te Marama atau Queen of the Full Moon. Lukisan ini dibeli dengan harga mahal oleh saudagar Moondeline, keluarga Stroud."
Aku melongo melihat lukisan papaku terpajang di hadapanku sekarang.
"Kenapa Full Moon?" Tanya salah satu dari mahasiswa.
"Dibawah pimpinan Ratu Melusine, Meramoon berhasil memenangkan pertempuran dengan Amaryllis terpat di bawah bulan purnama." Jelas pemandu.
"Kenapa Remi Dante tidak melukis langit malam dengan bulan purnama?"
Karena Remi Dante tidak suka melukis langit malam.
"Mungkin jika Remi Dante mengadakan seminar kau bisa tanya. Kita beralih ke The Queen te Marama yang kedua."
Sementara mereka beralih ke sisi tembok satunya, aku berdiri di depan lukisan Remi Dante. Berdiri di depan lukisan wanita berambut merah mentereng di tengah taman itu.
Mataku menyusuri lukisan hingga menemukan tanda tangan di pojok kanan bawah. Tanda tangan yang sama dengan yang ada di rapor sekolahku sampai SMP.
Lampu yang ada di atas lukisan membuat lukisan itu semakin terlihat dramatis.
Mungkin ada lima menit aku berdiri di depan lukisan itu. Tiba-tiba telingaku berdengung, aku terhuyung kebelakang karena kepalaku terasa sakit dan mataku berbayang.
"Ouh, shit."
Aku berbalik dan pergi dari sana, berjalan cepat menuju tempat yang lebih sepi dan ada tempat duduk. Aku menemukan lorong di mana ada miniatur kota di tengahnya, di sekeliling ruangan ada beberapa kursi panjang untuk duduk.
Botol minum aku keluarkan dari dalam tas. Punggung dan kepala aku sandarkan pada dinding. Aku mengatur detak jantungku yang tidak karuan.
"Huh. Huh. Huh." Aku bernapas satu-satu.
Butuh sepuluh menit untuk aku merasa baik-baik saja. Ada keluarga yang lewat menuju sisi lain bangunan. Aku bangun dan berjalan di belakang mereka memasuki lorong diorama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...