Kalian mau tinggal di abad ke berapa, siapa yang memerintah, bagaimana kondisi politik, ekonomi, dan sosialnya, satu hal yang pasti terjadi adalah bahwa mereka yang punya uang bisa menguasai segalanya.
Tidak juga sih, tapi mereka pasti punya andil dalam pemerintahan yang seharusnya tidak menjadi bagian dari kuasa mereka.
Apakah Yang Mulia Ettiene tahu tentang perdagangan budak yang terjadi? Tentu dia tahu itu.
Apakah Yang Mulia Ettiene pernah memanggil perwakilan Dewan Saudagar untuk konfirmasi rumor tersebut? Tentu pernah. Apa jawabannya? Itu bukan perdagangan manusia, tapi jual beli kontrak kerja.
Lalu apa yang terjadi setelah itu? Ya, Dewan Saudagar lepas begitu saja.
Faktanya tidak sedikit dari pembantu rendahan kerajaan ini datang dari mereka. Datang dari kalangan budak yang diserahkan oleh Dewan Saudagar. Bedanya mereka menjadi milik kerajaan, diperlakukan dan dibayar sesuai dengan standar kerajaan.
Lalu bagaimana dengan mereka yang jatuh kedalam perbudakan para Saudagar? Di dalam tambang-tambang? Di area perkebunan? Kapal-kapal dagang? Atau bahlan rumah bordil?
"Jadi intinya apa? Malasan menjadi kriminal karena mengusik orang-orang kaya?" Tanyaku setelah Aula Singgasana lengang. Hanya menyisakan aku, Yang Mulia Ettiene, dan beberapa pengawal di sudut-sudut ruangan.
Pria tua di sampingku menghela napas perlahan. Kepalanya menoleh padaku, pada anak perempuannya, Elea. "Tiga tahun lalu dia merebut pulau kecil di sisi barat Moon te Raina. Tanah milik Lord Hervé di mana keluarga Hervé menjalankan perkebunan anggurnya. Semuanya hancur berantakan, keluarga Hervé harus pindah dari sana karena Rash Lain Malasan menuntut pembebasan puluhan budak yang dipekerjakan di sana."
"Lalu?"
"Lalu Hervé membebas kerjakan para budak-budak itu dengan segala ancaman memalukan dari Malasan. Malasan membantu mereka kembali ke kampung halaman masing-masing atau membantu mereka menemukan pekerjaan lain."
"Lalu?"
"Ntahlah." Yang Mulia Ettiene mengangkat bahu tidak peduli. "Mungkin dia membeli pulau itu dengan uang yang dia curi dari ayahnya. Tanah itu sekarang menjadi atas nama Malasan."
"Jadi Malasan bukan orang jahat? Apa lagi yang dia lakukan selain 'mengacaukan jalur dagang', Yang Mulia?"
Yang Mulia Ettiene mendelik padaku. "Kenapa kau memanggilku begitu?" Pria itu menghela napas lagi. "Dia mencuri dari kapal yang mengangkut hasil bumi, memintai pajak ilegal kapal-kapal yang berlabuh pelabuhan-pelabuhan kecil di sisi barat, dia meminta jatah dari kapal-kapal pendatang, dia mencuri uang ayahnya."
"Hm?" Aku bergumam. "Itu terdengar seperti ayahnya bercerita langsung padamu?"
Tidak ada jawaban.
"Kalau aku jadi ratu sih, aku tidak mungkin mau menasihati kriminal sambil menepuk bahunya sebelum pergi seolah aku memberi nasihat pada muridku sendiri."
Lagi-lagi pria itu menghembuskan napas. Ia memutar matanya dan beralih ke tengah aula. "Kau mau apa tadi datang ke sini?"
Mampus aku, bahkan aku sudah lupa akan hal itu.
"Apa, ya? Aku sudah lupa. nanti saja, lah." Kata ku sambil mengibaskan tangan dan bangun dari kursi kebesaran milik Elea.
Sebelum aku menginjak anak tangga terakhir, Yang Mulia Ettiene mengatakan sesuatu.
"Kau mau membatalkan pertunangan dengan Celestine?"
Kaki kiriku menginjak lantai licin Aula dengan dramatis disusul kaki kanan. Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulut Yang Mulia Ettiene. Kakiku tiga langkah menjauhi tangga menuju singgasana sebelum berbalik dan mendongak ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Ficção HistóricaBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...