Sebuah pohon besar di sisi lain danau menjadi tujuan terakhirku. Aku membungkuk, menopang tubuhku dengan berpegangan dengan batang pohon dengan satu tangan dan satu tangan lagi aku gunakan untuk menakan perutku yang terasa perih.
Aku muntah-muntah.
Beberapa saat kemudian aku berhenti memaksakan isi perutku keluar, tapi masih dalam posisi yang sama.
Sekarang aku ingat rasanya. Val. Pria gila itu memiliki aura yang sama dengan Val. Berada di dekat Val selalu membuat perutku melilit, mual, dan kepalaku pening. Persis seperti tadi aku berada di dekat Celestine.
"Tuan Putri baik-baik saja?" Ivy datang dan ikut membungkuk di sampingku. Tangannya mengusap pelan-pelan punggungku. "Mau saya ambilkan minum? Kita cari tempat duduk dulu atau Tuan Putri mau-"
Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan Ivy berbicara.
"Aku mau kembali ke kamar." Kataku sambil mencoba berdiri tegak.
Ivy menggenggam lenganku untuk menuntunku. Saat berbalik, aku melihat lagi pengawal yang tadi datang bersama Ivy. Pria muda itu mengenakan seragam biru laut dengan pin lambang bulan sabit di dadanya.
"Kakak Lea?"
Ahk. Suara itu adalah hal terakhir yang ingin aku dengar hari ini.
Rhea datang dari ada berlawanan mengenakan gaun biru pudar panjang sambil menenteng dua buku di tangannya. Rambutnya yang cokelat tergerai begitu saja.
"Kakak baik-baik saja?"
"Elea!" Suara lain datang dari belakangku. "Elea, kau baik-baik saja?" Celestine datang setengah berlari, menyikut pengawal muda yang ada di dekatku hingga sampai ke sampingku. "Ada apa?"
Rhea mundur dua langkah dan menekuk lututnya rendah pada Celestine.
"Saya ingin kembali ke kamar. Maaf tidak bisa menemanimu." Aku menarik lenganku yang hampir disentuhnya.
Aku meraih tangan Ivy dan mengajaknya berjalan pergi.
"Saya permisi untuk menemui teman-teman saya, ya kak." Katanya sambil berlalu pergi ke arah lain.
Aku tidak butuh informasi itu.
Ivy mengajakku memasuki bangunan sayap barat untuk menuju bangunan utama dan menaiki Menara Barat. Tangan Ivy menggenggam lengan kiriku, membantuku berjalan. Genggaman tangannya lebih terasa dia berusaha menariku menjauh dari Celestine.
"Kau-" Aku menelan ludah. "Mungkin lebih baik kau beristirahat saja, Celestine. Pasti lelah habis perjalanan panjang, kan? Kembali ke kamarmu atau ke manapun kau tinggal di sini. Saya juga ingin beristirahat. Permisi!"
Aku mempercepat langkahku dan memaksa Ivy mengikuti.
Ujung sayap barat adalah markas militer. Bangunan berbentuk segi lima bertingkat tiga yang atapnya berupa kubah. Sepanjang lorong lantai satu ini dipenuhi kelas-kelas militer, politik, dan hubungan kerajaan.
Katanya, ruangan bawah tanah bangunan itu adalah penjara bawah tanah. Tempat penjahat-penjahat di intrograsi sebelum akhirnya dikirim ke penjara atau ke tambang bawah tanah.
Lonceng berbunyi ketika kami sudah melewati setengah bagian sayap barat.
Aku menoleh keluar dan mendapati matahari hampir terbenam di belakangku.
"Ada apa itu?"
Dari arah berlawanan ada suara ribut-ribut. Segerombolan orang berjalan berlawanan arah denganku. Seseorang setengah berlari lebih cepat dari rombongannya.
"Mereka menangkap penjahat?" Bisik Ivy.
Tiba-tiba aku dan Ivy terhuyung ke belakang. Pengawal muda yang dari tadi mengikuti kami menarikku dan Ivy hingga mepet pada kaca besar yang menghadap halaman depan kerajaan.
"Harusnya mereka tidak membawa masuk penjahat dari pintu depan dan malah menyusuri lorong sayap barat." Kata pemuda itu.
Seseorang yang tadi berlari lebih cepat dari yang lainnya berhenti di hadapanku. Seorang pria beberapa tahun lebih tua dariku, dari Elea. Pria itu menyampirkan revolver di saku celananya. Di tangannya ia menggenggam tongkat pemukul yang ujungnya lancip.
"Tuan Putri ingin kembali ke Menara Barat?" Tanyanya.
Aku dan Ivy sama-sama mengangguk.
"TUAN PUTRI MELUSINE SONOMA AKAN LEWAT! BERHENTI DAN BERI HORMAT!"
Apa? Apa yang dia katakan barusan?
Rombongan orang di depan berhenti berjalan. Suara berisik yang timbul dari mereka tiba-tiba lenyap. Mereka berdiri tegap merapat pada dinding.
Dari jarak segini aku tahu bahwa mereka adalah pengawal atau prajurit dari pakaian yang mereka kenakan. Seragam berwarna biru laut pasti dengan pin bulan sabit juga di dadanya. Warna strip pita yang terjahit di kerah, lengan, dan tepi kancing yang membedakan mana pengawal, prajurit militer, dan keamanan.
"Berjalan dengan cepat." Bisik pengawal di belakangku.
Ivy menggenggam tanganku erat sebelum menarikku berjalan cepat. Pria yang membawa tongkat pukul tadi berjalan tepat di sampingku, sementara pengawal muda tadi di belakangku.
Aku mengikuti langkah Ivy yang besar dan cepat.
Tidak tahu seberbahaya apa penjahat yang mereka tangkap itu, tapi intensitas suasana di sini menjadi menyesakkan. Mungkin penjahat yang mereka tangkap tidak lebih dari tiga, tapi butuh lebih dari tujuh petugas untuk menjaga mereka. Pria di sampingku lebih memilih meraba revolver di pinggangnya dan Ivy semakin menggenggamku.
Sekali lagi aku menoleh ke belakang tempat matahari sebentar lagi akan tenggelam.
Mendekati rombongan petugas dan penjahat itu tiba-tiba telingaku berdengung. Awalnya samar lama-kelamaan berdengung hebat. Tanganku yang bebas terangkat untuk menekan sebelah telinga.
"Tuan Putri, ayo!"
Dengung di telinga mungkin memperlambat jalanku hingga Ivy menggoyang-goyangkan tangan untuk menarik perhatianku.
Aku mengedipkan mata beberapa kali untuk mengembalikan kesadaranku.
Tepat saat melewati rombongan itu dengung di telingaku berhenti. Seketika semuanya menjadi sunyi. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada suara orang-orang dari halaman depan, tidak ada suara unggas-unggas yang berbunyi dari taman belakang.
Aku mengangkat kepalaku dan melihat sekeliling dengan bingung.
Hal pertama yang aku tangkap adalah seorang pria yang mengenakan kemeja putih gading berlengan panjang, bagian kerahnya bergelombang ke bawah. Ada kalung dengan bandul batu oval berwarna merah maroon gelap di dadanya.
Di sebelah tangannya, pria itu menenteng sebuah jas panjang berekor berwarna merah maroon dan topi kulit cokelat.
Disaat orang-orang di sekitarnya membungkuk saat aku melewati mereka, pria itu jadi satu-satunya orang yang berdiri tegak memandangku. Kepalanya ikut menoleh mengikutiku.
Matanya yang biru tidak berkedip memandangiku, berkilatan memantulkan cahaya matahari yang menghadap ke arahnya. Rambutnya pendek, pirang agak gelap dan berantakan, beberapa helai jatuh ke wajahnya yang berkeringat.
Kepalaku berputar untuk memandangnya sementara Ivy tetap menarikku untuk berjalan cepat. Wajahnya terlihat sangat familiar bagiku. Aku seperti pernah atau mungkin sering melihatnya wajahnya, familiar dengan gayanya.
Setelah aku jauh melewatinya, pria itu membungkuk, menekuk lututnya sekilas sebelum kembali berdiri tegak. Dia megedipkan sebelah matanya sambil tersenyum miring.
"Siapa dia?" Bisikku setelah suara-suara di dunia kembali ke telingaku.
"Malasan."
Ada yang tahu Sturmhond dari Grishaverse punya Leigh Bardugo? Dari novel (Shadow and Bone, Six of Crow, King of Scars) atau serial Netflix Shadow and Bone?
WELL, Malasan adalah tokoh yang terinspirasi dari salah satu tokoh di novel Leigh Bardugo. Namanya Sturmhond (Nikolai Lantsov).
Malasan, dua temannya, dan semua kru kapalnya terinspirasi (atau malah fannfic/AU) dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Ficción históricaBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...