Aku memojokkan tubuhku di kepala tempat tidur. Selimut aku tarik hingga sampai ke leher. Ada lima orang berkumpul di sekeliling kasur. Salah satu dari mereka adalah wanita tua yang tadi membuka jendela kamarku.
MASALAHNYA INI BUKAN KAMARKU!
Wanita itu duduk di tepian kasur mencoba meraihku sambil mencoba membujuk, mengeluarkan kata-kata menenangkan yang tidak aku pedulikan.
"Nona-"
"Kalian siapa? Pergi dari hadapanku!" Aku berteriak tidak tahu untuk ke berapa kalinya.
"Pergi-pergi! Kalian pergi dulu. Tolong panggilkan Raja dan tabib!"
Apa?
Semua orang pergi kecuali wanita paruh baya itu. Dia masih coba membujukku sambil mengulurkan tangan.
"Nona, kepalanya masih sakit?"
"Tunggu-tunggu! Kalian siapa?" Tanganku meraba meja di samping tempat tidur untuk meraih vas bunga kosong yang bisa aku gunakan sebagai senjata.
"Nona kemarin bilang sakit kepala, badan Nona demam tiga hari kemarin. Apa yang salah? Kepalanya masih sakit?"
Ini apa sih, anjing!
"Tidak. Aku baik-baik saja."
Wanita paruh baya itu sekilas terkejut sebelum kembali memasang wajah datar. "Mau saya buatkan teh hangat?"
Aku menggeleng pelan. Mataku masih nyalang memandang sekitar dengan waspada.
Ruangan ini luas, berbentuk persegi panjang. Di sisi dinding panjang di hadapan kasur ada lorong menuju ruangan lain. Dari arah ruangan lainnya itu terdengar suara pintu terbanting terbuka.
Suara ribut orang dan gemuruh langkah kaki mendekat ke arah kamar. Dari lorong itu muncul seorang pria bertubuh tinggi dan agak gempal datang mendekat. Pria itu memiliki rambut hitam beruban pendek yang tersisir rapi ke belakang.
"Ada apa? Kau kenapa?" Pria itu mendekat dan duduk di tepi kasur menggantikan wanita tua tadi. "Ada apa, Elea?" Tangannya terulur untuk menyentuhku.
"OH! Stop, stop!" Aku menendang kakiku ke depan. Menepis tangannya yang mendekat. Punggungku semakin aku tekan ke kepala kasur. "Cukup! Hentikan!" Vas bunga yang tadi di atas meja aku angkat ke atas kepala.
"Iya, iya." Pria itu bangun dari kasur sambil mengangkat tangan menyerah. "Tidak ada yang mendekatimu, tidak ada yang menyentuhmu, tidak ada yang menyakitimu. Letakkan vas bunganya, Nak!"
Aku menurunkan vas bunga dan menggenggamnya di balik tubuhku.
Pria itu mengisyaratkan pada semua orang untuk keluar. Mereka menurut kecuali wanita tua yang dari awal bersama ku. Dia berdiri diam di ujung ruangan dengan wajah khawatir.
"Elea, tenang! Tarik napas, atur napas!"
Elea siapa?
"Tiga hari kemarin kau demam, kau bilang sakit kepala. Kita pergi berburu di hutan lalu hujan-hujanan, kau ingat?" Pria itu berlutut di ujung kasur, tempat terjauh yang bisa memisahkannya denganku.
Aku menggeleng.
Dia menghela napas lalu menoleh pada wanita di pojok ruangan. Wanita itu menggeleng samar-samar.
"Kau makan dan minum susu dulu. Habis itu biarkan tabib memeriksamu, ya." Pria itu bangun dan berjalan menuju lorong ke ruangan lain.
Beberapa detik kemudian aku ditinggal sendirian di dalam kamar. Wanita paruh baya itu menutup tirai lorong sebelum pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...