Toko roti itu tambah ramai 2 atau 3 kali lipat dari aku pergi meninggalkannya. Surprisingly, Yang Mulia Ettiene memilih untuk tetap datang bersama Ibu Bertha dan Rhea. Bersama serombongan besar pengawal dan prajurit yang dipimpin oleh Dana, mereka memadati toko roti sampai meja-meja luar.
Aku datang berbarengan dengan Liam dan teman-temannya di militer. Dari jauh saat aku belum melihat batang hidungnya, suara teriakan dan puja-puji terdengar dielukan oleh rakyat sekitar. Nama resmi Liam, Abraham adalah yang mereka teriakan penuh puja-puji.
sekitar 7 kuda militer dan penunggangnya muncul dari jalanan atas. Anak sialan ini memang senang namanya dielukan, dia senang dipuja-puja, dia senang menjadi tokoh utama yang bersinar, menjadi pusat perhatian.
Lihat gayanya dengan baju militer ketatnya itu, busur dan anak panah di punggungnya, senyum bangga terkembang, tangannya melambai-lambai ke arah kerumunan rakyat yang terbentuk.
Lapangan kecil dekat toko roti seketika penuh dengan kereta kuda terparkir dan kuda-kuda diikat. Radius 1 kilometer arus lalu-lalang harus dialihkan melalui jalan lain.
"Kau dari mana?"
Aku ingin menamparnya melihat bagaimana senang dan bangganya dia di dalam kerumunan rakyat yang terus mengelukan namanya. Liam mengapit lenganku dan mengajakku memasuki toko roti.
"Aku dengar-dengar namamu mengalahkan namaku." Sebelah tanganku yang memegang kipas lipat aku pukul ke belakang kepalanya.
Liam tertawa. Jarinya berputar menunjuk kerumunan rakyat yang terbentuk. "Kebanyakan wanita muda, bukan ibu-ibu. Kau kan favoritnya orang tua."
Aku memukulnya sekali lagi.
"Sebenarnya pria juga tapi tidak ada yang berani mendekatimu, kan?"
Aku memukulnya sekali lagi.
"Katanya tidak ada Celestine. Dia pergi bertemu kepala tambang. Kau sadar kita salah mengirim mereka suplai batu bara?"
Aku hanya mengangkat bahu tidak peduli.
"Aku hanya akan mengambil roti tuna dan roti kismis untuk nenek, lalu kita pulang." Kataku pada Ivy dan Kyle.
Liam berdecak sebal. "Duduk dengan saya sebentar. Biarkan orang gila-orang gila itu, ayo kita makan bersama."
"Elea!"
Belum sempat aku menjawab apapun, ada suara lain yang memanggil Elea dengan suara ditekan.
Liam tiba-tiba menarikku ke belakang tubuhnya, berdiri menjulang di depanku. Mungkin Liam 3 tahun lebih muda dari Elea tapi latihan militernya benar-benar membuatnya tumbuh tinggi jauh melampaui kakaknya.
"Mau apa? Sudah sana habiskan waktu bersama keluargamu, jangan ganggu saya dan kakak saya."
Aku memukul kepalanyanya sekali lagi jauh lebih keras. Tubuhku menciut mendengar kalimat yang keluar dari mulut anak laki-laki itu kepada ayahnya.
"Ssstt!" Aku menarik baju belakang Liam dan maju ke hadapannya. "Kenapa kamu bilang begitu?"
Maksudku adalah ini tempat umum. Dia tidak seharusnya berkata seperti itu kepada Yang Mulia Ettiene di depan umum. Mungkin tidak di dengar banyak orang karena tempat ini ramai dan di luar berisik, tapi tetap saja nyaliku ciut mendengarnya.
"Bicara apa kau barusan?"
"Ssstt! Sudah cukup, jangan buat keributan!" Aku menepis tangan Yang Mulia Ettiene yang hendak meraih Liam. "Aku tidak peduli, kalian mau saling pukul, ambil pedang kalian. Jangan di sini!"
.
Aku berakhir di meja bundar di bawah tangga. Duduk berdua bersama Liam dengan berbagai macam roti di atas meja. Ada satu cangkir kopi, segelas jeruk peras, dan segelas air mineral.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...