Guru Besar Bhacakaraya mengajar pemahaman tentang Tuhan, filosofi, dan hubungan antar manusia, sesama makhluk hidup, dan alam. Aku sudah duduk di dalam kelas ini bersama lima orang lainnya lewat dari satu kali dentang lonceng. Duduk mendengar ceramah yang membuat mejaku diketok dua kali oleh Guru Besar Bhacakaraya karena tertidur.
Kelas ini yang setiap hari diikuti Elea? Yang benar saja, dong.
Selama dua kali dentang lonceng itu pilihannya jika aku tidak tertidur maka aku akan melamun. Aku membayangkan Elea yang mengungkapkan isi hatinya yang selama ini dia pendam. Membayangkan sakit hati Elea ketika papahnya malah berteriak menyalahkannya kenapa setelah lebih dari lima tahun lamanya baru dia mengungkapkan hal itu. Papahnya mengungkapkan bahwa cintanya untuk Bertha bulat dan tidak bisa diganggu-gugat jadi Elea harus menerima saja kenyataan.
Semua orang sudah pergi ketika aku sadar. Guru Besar Bhacakaraya berdiri di seberang mejaku. Pria tua yang wajahnya dipenuhi jambang dan kumis itu memegang penggaris panjang dengan kedua tangannya di belakang tubuh. Berdiri seperti guru tua yang terlihat akan membujuk muridnya dengan baik-baik lalu melempar penggaris jika tidak menurut.
"Maafkan saya Putri. Apa ada yang mengganggu pikiran Tuan Putri? Apa ceramah saya terlalu panjang dan membosankan?" Dia bebicara perlahan-lahan.
Aku tersenyum basa-basi. "Saya yang seharusnya minta maaf. Kemarin Menti bilang kelas Guru akan diadakan siang hari jadi saya pikir saya bisa tidur lebih lama. Ternyata dipindah pagi ini."
"Tidak apa-apa. Saya senang Tuan Putri sudah kembali sehat." Guru Besar Bhacakaraya pamit undur diri dan pergi membawa tas dan peralatan mengajarnya.
Punggung dan kepalaku yang terasa sakit aku sandarkan pada kursi hingga bagian depan kursi terangkat. Kelas ini hanya berkapasitas dua belas orang, ada meja guru di tengah dan papan hitam di dinding depan. Jendela di kanan dan kiri besar sehingga cahaya matahari dengan mudah masuk ke dalam.
Ruang kelas ini terletak di lantai dua di bangunan sayap timur. Pagi hari, sinar matahari datang tepat dari arah jendela di sebelahku.
Terus sekarang aku harus apa?
Keluar dari ruang kelas aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mengingat dari mana aku datang. Satu-satunya hal yang aku ingat adalah bahwa aku menuruni banyak anak tangga dan berjalan jauh untuk sampai ke sini.
Dari ingatanku artinya menara tempat Elea tinggal ada di barat sedangkan bangunan ruang kelas ada di sayap timur.
Aku berjalan terus hingga aku sadar aku berakhir di tempat yang tidak aku lewati dua jam lalu. Di pintu besar di hadapanku sekarang terbentang taman berbunga indah yang kemarin aku lihat dari kamar. Ada beberapa pohon besar rindang dan kolam yang lebih cocok disebut danau buatan agak jauh di tengah. Di tengah taman juga ada beberapa pendopo dan meja piknik untuk duduk-duduk.
Sekarang aku jauh lebih tergoda untuk melihat-lihat lebih jauh lagi.
"Tuan Putri?"
"Oi." Aku terlonjak kaget dan hampir melempat buku yang ku bawa.
"Tuan Putri sedang apa?" Seorang wanita berdiri di hadapanku. Tidak seperti wanita di sini yang banyak mengenakan dress dia mengenakan kemeja dan celana panjang.
Masa Elea bilang kalau dia tersesat.
"Eh-" Aku mengusap belakang leherku. "Aku ingin mengunjungi Ash." Jawabku mencari-cari alasan.
"Oh," Dia terlihat panik. "Putri ingin menggunakan Ash? Saya baru akan memandikannya."
Aduh. Artinya orang ini cukup dekat dengan Elea dan aku tidak tahu siapa namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past Keeper : Naserin Dante
Historical FictionBerhari-hari aku berakhir di Dermaga Lama karena salah naik bus untuk pulang. Berkali-kali aku berakhir di tempat yang aku tidak inginkan. Tempat di mana berdiri patung seorang pahlawan tempat aku tinggal sekarang. Malasan namanya. Seorang perompak...