≿━━━━༺❀༻━━━━≾
"Duke Luther dan Duchess Luther memasuki ruangan!"Derit pintu terdengar keras. Hiruk-pikuk pesta bak riak badai sontak lenyap. Beribu pasang mata mengunci kehadiran pasangan Luther. Tajam, dingin, penasaran, serta kagum terpatri pada banyaknya mata.
Heningnya bingar sesaat tidak mengganggu jalannya pasangan Luther memasuki ruang pesta. Bak cahaya menyinari tiap langkah, keduanya terlihat berkilau. Pakaian mewah yang serasi menonjolkan visualisasi memanjakan mata.
"Yang Mulia Duke."
Sapaan mulai terdengar. Derap langkah kian mendekati dan menghentikan pergerakan pasangan Luther. Isalynne dengan baik membalas sapaan mereka, tersenyum ramah dan menunjukkan reaksi menerima kehadiran siapapun.
"Apa kabar Duchess? Anda terlihat cantik hari ini."
"Duchess, selamat atas berkah yang diterima."
"Astaga Duchess, gaun Anda snagat cantik. Butik mana yang Anda pesan?"
"Duchess beruntung sekali memiliki suami yang tampan dan kuat. Jika itu saya, saya tidak akan pergi ke pesta untuk memamerkan suami saya."
Senyum serta jawaban ramah Isalynne perlahan memudar. Matanya melirik tajam pada seorang gadis cantik berambut pirang. Wajahnya tampak asing, cara berbicara pun memiliki logat orang barat.
Ia melirik pada liontin emerlard di leher itu. Berkilau dan berkualitas. Isalynne tidak pernah meragukan peneliaian nya terhadap sesuatu yang berkilau. Melihat emerlard itu mengingatkannya pada wilayah barat yang dipimpin Duke Frelard— ayah Joanna. Tampaknya pula, nona itu memiliki status tinggi di barat.
Sementara itu, berbanding terbalik dengan Isalynne yang menyambut sapaan. Sejak awal Theroz memasuki ruangan, ia tidak menunjukkan keramahannya. Tatapan dingin serta aura intimidasi mengiringi hingga membuat siapapun menjaga jarak. Namun, ada saja yang berani mendekat dengan tak tahu malu dan wajah penjilat.
"Yang Mulia Duke. Sudah saya duga, Anda masihlah tampan."
"Duke, kebetulan sekali Anda telah datang. Mari kita bertemu di ruang pribadi untuk membicarakan sesuatu."
"Duke, bagaimana dengan Selatan? Itu pasti nyaman dan hangat. Tidak seperti wilayah utara yang dingin."
Theroz hanya menatap tanpa menjawab. Hingga mereka sendiri mulai tahu diri untuk mundur perlahan dengan canggung. Theroz menoleh pada istrinya dan merasa terganggu dengan wanita bangsawan yang terus mengoceh.
"Terimakasih atas sapaannya." Suara Theroz bak menggema di kerumunan itu.
Baik mereka yang berkerumun, ataupun orang-orang didekat mereka yang sengaja memasang telinga— menatap pada Theroz. Mereka terlihat menunggu akan apa yang diucapkan Theroz.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duchess Wants Have to Children
Romans"Saya ingin memiliki anak." Theroz bergeming memandang retina tajam Isalynne. Penuturan tegas sarat makna tuntutan dari Isalynne sedikit membuat Theroz terkejut. Ini adalah kali pertama istrinya mengatakan sesuatu untuk ia lakukan. Theroz menghela...