GAFIN | 17

763 110 18
                                    

17 – a taste

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

17 – a taste.

"Kalau kamu terus seperti ini lebih baik kita pisah saja, Evelyn!" pekik Ezra yang sudah habis kesabaran. Tangannya terkepal kuat hingga memperlihatkan urat-urat ditangannya.

Evelyn terdiam sejenak. "Terserah, saya tidak perduli, justru itu jauh lebih baik." Evelyn mengambil tas nya di atas sofa, pergi meninggalkan Ezra begitu saja.

Ezra mengacak rambutnya frustasi sebelum akhirnya ia pun ikut meninggalkan rumah. Jam sudah menunjukan pukul setengah enam pagi, tapi mereka sudah bertengkar dipagi yang cerah seperti ini.

Dari atas tepatnya di lantai dua, dibalik pintu kamar yang sengaja ia tidak tutup rapat menyisakan sedikit rongga, mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Sembari terus mengakatan kata-kata umpatan dengan suara pelan.

Dirinya beralih mengetuk pintu kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya. Membukanya tanpa menunggu jawaban dari sang pemilik kamar. "Gaf, lo harus tau." Gefin menutup kembali pintu kamarnya perlahan.

"Bisa ketuk dulu ngga sebelum masuk?" Gafin yang terkejut kesal dengan kehadiran Gefin, seragam rapih sudah melekat ditubuhnya.

"Penting, tadi gue denger bokap bilang mau pisah sama nyokap, Menurut lo kabar baik atau buruk?" Gefin menopang dagu.

"Ngga tau,"

"Gue serius nanya, tapi menurut gue sih kabar baik, kalo mereka pisah gue ngga lagi dengar suara mereka ribut. Terus hidup tenang di sini, sama lo juga kan." Gefin sama sekali tidak berharap lebih atas hubungan kedua orang tuanya yang semakin memburuk.

Sedangkan Gafin sangat berharap keluarganya segera membaik, hidup layaknya sebuah keluarga.

"Keputusan ada ditangan mereka. Sudah telat, gue mau berangkat, lebih baik lo keluar dari kamar gue." Gafin mengusir Gefin agar cepat keluar dari kamarnya.

Sudah tidak ada lagi suara keributan, suara mobil mereka pun sudah tidak lagi terdengar. Itu tandanya kedua orang tuanya sudah pergi.

"Mereka tau ada kita di rumah ini ngga sih Gaf?" Gefin bertanya sambil berjalan mengikuti Gafin dari belakang.

Gafin menghela nafas. "Ngga tau." Sejujurnya Gafin pun bingung harus berkata apa, emang dirinya juga tidak mengerti, ada apa dengan keluarganya, kapan masalah ini selesai.

"Mereka kayanya ngga tau, buktinya kita ngga pernah ngumpul, lo pernah sarapan di meja makan? Ngga kan, ya iya lah siapa yang mau nyiapin makanan. Percuma ada meja makan kalo ngga pernah dipakai, buang-buang uang."

Gafin tidak menjawab, dia terus berjalan sampai ke garasi.

"Mama jarang di rumah, papa sibuk kerja. Gue aja ngga pernah ngobrol sama mama kalo dia pulang sebentar, lo pernah?" Gefin bertanya lagi.

"Ngga. Gef, udahlah kenapa terus dibahas, apa yang lo rasain juga gue rasain Gef, kita adik kakak satu keluarga yang sama, masalah ini bukan cuman lo yang kecewa, tapi gue juga." Gafin memakai helm nya, menaiki motornya, pergi dengan kecepatan tinggi.

GAFINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang