01

421 39 8
                                    

Sebelumnya...

  Haruto menatap sepatu kets miliknya tergantung dengan tali sepatu yang terikat pada sebuah ranting kokoh pohon. Matanya, takut-takut menatap lima orang lelaki dan dua orang gadis memakai rok mini—Haruto meneguk ludah, berpikir bagaimana caranya untuk kembali mengambil sepatunya di tempat yang tidak seharusnya.

  Tubuh Haruto didorong Junghwan, hingga Haruto melangkah tersentak. Mereka tertawa senang, menyuruh Haruto mengambil sepatu itu dengan cepat sebelum mereka membakarnya di hadapan mata Haruto sendiri. Mengingat Mama yang pemarah, Haruto bergegas naik ke atas kursi—matanya fokus tertuju pada sepatunya dan berpikir bagaimana agar ia dapat melepaskan ikatannya.

  Jari jemari Haruto mencoba melepaskan ikatan tali, ia sebetulnya kesusahan karena teman-temannya mengikat tali tersebut cukup kencang, membuat Haruto sesekali mendengus kesal. Haruto mempercepat jarinya saat mendengar teriakan Caesar, dengan tergesa-gesa Haruto berhasil melepas ikatan tersebut, namun kembali dengan sifat buruk teman-temannya.

  Kursi tempat Haruto berpijak didorong Peony hingga jatuh, tentu saja membuat tubuh Haruto goyang dan berakhir jatuh tengkurap. Haruto sempat mengaduh, sepatu yang dipegangnya terlepas dari tangan—rasa sakit di perut dan dada membuat Haruto tak dapat langsung bangun dan berdiri menuruti kehendak temannya.

"Payah! Kau lambat, padahal aku sudah berbaik hati mempersilahkan mu mengambil sepatu itu," ucap Junghwan, dengan santai melangkah mendekati Haruto yang saat ini dalam posisi yang sama.

"Doyoung! Kau mempelajari rumus matematika, bisa kau hitung berapa putaran jarum jam yang dibutuhkan untuk menghukum anak idiot ini?" Belum lagi Haruto menelaah bulat-bulat ucapan Junghwan, pukulan keras mendarat di pipinya—rasanya panas, namun tidak didefinisikan sebagai rasa sakit, anehnya, Haruto tidak dapat memastikan sebab hal-hal semacam ini sudah sering ia terima.

"Bagaimana? Kau sudah menghitungnya Doyoung?" Tanya Junghwan, sembari menarik kerah seragam Haruto yang kotor, sementara Haruto menyipitkan matanya.

"Ah... Kupikir aku bisa menghitung jika aku yang melakukannya." pungkas Doyoung, mendekat ke arah posisi Haruto yang sedang terduduk dengan kedua kaki tertekuk.

Doyoung langsung memberikan tinjunya, membuat Haruto terbatuk, perut sebelah kirinya terasa sakit namun juga mual. Doyoung tersenyum lebar ke arah Haruto, dengan nakal mengusap pipi merah Haruto-wajah Haruto langsung menyamping, tinju Doyoung lebih kuat ketimbang milik Junghwan.

"Berapa skor yang kuperoleh? Katakan padaku, idiot," ucap Doyoung, sembari berdiri dengan napas yang memburu.

  Haruto hanya dapat diam dan mengancungkan beberapa jarinya. Membuat Doyoung tertawa puas dan memuji tinjunya, Junghwan melepaskan tangannya dari kerah seragam Haruto, menepis kasar sembari mendorong tubuh anak itu. Peony kemudian mendatangi Haruto, mengunyah permen karet—lalu mengambilnya dari mulut, dengan air liur yang menjijkan Peony kemudian memaksa Haruto membuka mulut, hingga permen karet bekas itu masuk ke dalam mulutnya.

   Haruto langsung memuntahkannya, merasa jijik dengan penghinaan yang baru saja ia terima. Peony dengan tanpa rasa bersalah langsung pergi begitu saja, masuk ke dalam barisan—Haruto memcoba berdiri ketika Junghwan membentaknya, ciut nyali anak itu dengan kepala yang menunduk.

   Caesar mengambil sepatu tadi, sementara Caspian melepaskan pemantik api, Haruto menyadari hal itu, dengan tenaga seadanya ia berusaha merebut sepatu miliknya—aksi itu menjadi bahan lelucon, layaknya melihat seekor kera rakus merebut sebuah pisang di tangan tuannya. Caspian menendang tubuh Haruto, membuat anak itu mundur terpaksa—4Caspian dengan senang hati langsung menyalakan pemantik dan membakar ujung sepatu Haruto.

"Sampai jumpa idiot! Bertemu lagi lain hari!" ucap Leroy, sementara yang lainnya sudah lebih dulu melangkah meninggalkan tempat kejadian.

"Lain kali layani kami dengan baik, jika kau tak mau kehilangan barang berharga mu untuk kedua kalinya!" cetus Edith, melambaikan tangannya sembari mengibas rambutnya dengan centil.

FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang