12

235 25 5
                                    


  Haruto mundur sebanyak dua langkah, ia memegang erat lengan kirinya yang terluka akibat sayatan pisau Yoshi. Ia meringis pedih, darah sudah menetes ke atas lantai dan Haruto masih saja tidak mengerti dari maksud Yoshi. Hyunsuk tidak bereaksi apa-apa, kendati ia kurang setuju dengan cara Yoshi mengatakan sesuatu dengan sebuah isyarat senjata.

"Jika luka sayatan di lenganmu terasa perih, lantas bagaimana luka dalam dadamu. Lebih menyakitkan yang mana?" Pertanyaan Yoshi berdengung dalam rungu Haruto.

  Ia menatap luka itu, berdarah, pedih lukanya menganga—tapi, bagaimana luka dalam perasaanku? Ulangnya, dalam-dalam ia tangkap apa yang sudah dikatakan Yoshi, Haruto kemudian mencengkeram erat lengannya yang terluka. Perih, tapi tidak juga dapat menandingi rasa perih di dadanya.

  Yoshi memperhatikan Haruto dengan saksama, darah menetes ke atas lantai kusam, dan Haruto masih dengan perbandingan rasa sakit itu. Luka bisa dibalut perban, bisa diobati suatu waktu, bisa hilang dengan sendiri—tanpa meninggalkan bekas. Tapi bagaimana luka perasaan, tidak ada obat, tidak juga pulih dalam waktu cepat—tidak dapat dibalut, tidak mungkin hilang begitu saja—selalu ada, selalu terasa, bekas itu sewaktu-waktu akan kembali mengingatkan dengan apa yang pernah dialami.

"Pikirkan perasaanmu, Nak—" ucap Hyunsuk, sambil menatap penuh perhatian pada Haruto.  Haruto kemudian mengangkat kepalanya, satu bulir air mata menerobos membasahi pipinya.

"Hal buruk tidak selamanya dinilai buruk, akan ada nilai tertentu saat kau melakukannya. Sebuah pilihan ada pada dirimu, kita tidak tahu sampai kapan luka bisa sembuh, sampai kapan luka terus terasa sakit. Kembalikan harga dirimu," ucapan itu seperti nasihat yang selalu dibutuhkan Haruto, sebuah penguat hati atau dorongan untuk melangkah maju—yang selalu ia harapkan keluar dari mulut Mama atau ayah sekali pun.

  Haruto diam, ia tidak tahu harus berkata apa, mengeluarkan suaranya dengan bagaimana. Linang air matanya terus membasahi pipi, yang semula mengering kembali basah—mungkinkah ini adalah tangisnya yang terakhir, adakah sebuah pencerahan jika ia memilih untuk melakukan pembalasan. Haruto kembali menekukkan kepalanya, air matanya jatuh tepat di antara tetes darah yang hampir mengering.

'Telan semuanya, itu akan mengingatmu tentang aku!"

  Dan Haruto mencoba memejamkan matanya, terngiang ia suara itu—teriakan kesakitan, suara memohon ampun, suara biadab saat dua orang sedang melecehkan dirinya kala itu.

'Harga diri tidak harus ada dalam dirimu!'

'kau hanya daging busuk tak berguna!'

  Haruto menggelengkan kepalanya, ia merasakan nyeri dalam dadanya. Kemudian, ia mengembuskan napas dengan rasa sesak. Hendak sekali ia mengangkat kepalanya, bertegar diri untuk terus menatap ke masa depan.

'idiot!'

'Tidak aku atau ayahmu, menginginkan anak inklusi di dunia ini!'

  Haruto berteriak frustrasi, ia menyapu air matanya dengan bergegas hingga kemudian kepalanya mendongak, mengembuskan napas—membuang segala sesak yang masih tersimpan di dadanya. Bola mata Haruto bergulir bergantian ke arah Yoshi dan Hyunsuk, ia menelan ludah hingga mengambil shotgun itu kembali, ditatapnya dengan lamat-lamat.

"Aku akan melakukannya," pungkasnya. "Aku akan membalasnya!" kedua rahang Haruto saling bertemu, mengeluarkan suara gemeletuk gigi.

"Itu pilihan bagus, Nak!" Hyunsuk bertepuk tangan, kemudian berjalan ke arah Haruto.

"Aku akan memberimu perlengkapan, termasuk mengembalikan boneka beruang itu," cetus Hyunsuk, seperti sedang berbisik.

  Mata Haruto melebar mendengar ujung kalimat Hyunsuk, benar. Boneka itu tak pernah ada dalam pikirannya selama ia di tempat ini, jika bukan karena perkataan Hyunsuk tadi.

FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang