04

282 33 10
                                    


  18.45

  Leroy bergegas memasukan anak kunci, ia baru saja bisa lepas dari teman-temannya. Leroy bergegas masuk setelah terbuka, dan menutup kembali pintu serta memasukkan anak kunci itu ke dalam ranselnya. Matanya terbelalak melihat Haruto bersandar dengan darah mengering di sekitar dagu serta, tangan kanannya terlihat memeremas sapu tangan yang sudah kotor karena noda darah.

   Haruto menyadari kedatangan Leroy yang sempat termangu menatap kasihan pada dirinya. Haruto memilih menarik paksa sudut bibirnya, hingga garis senyum yang melengkung di pipi. Tergopoh-gopoh Leroy mendatangi posisi Haruto, setelah sampai diambilnya barang-barang di dalam ranselnya. Yang rupanya beberapa perban, alkohol, obat serta beberapa yang sembarang diraupnya dari kotak p3k.

"Maaf... Aku harusnya tidak membiarkan mereka keterlaluan melakukan ini padamu." sembari menuang alkohol pada kapas, untuk membersihkan noda darah serta luka Haruto nantinya.

"Tidak ada yang perlu disalahkan," jawab Haruto, matanya melihat tangan Leroy cekatan dan menatap matanya penuh empati.

  Tangan Leroy yang memegang kapas basah akibat alkohol mengarah pada Haruto, namun, Haruto justru menahan hal itu—membuat Leroy sontak menatap Haruto penuh kebingungan. Sementara Haruto memilih menggeser tubuhnya, menghindari pandangan mata Leroy dengan cara melihat ke arah pintu.

"Besok akan terluka lagi, diobati juga tidak ada gunanya," ungkap Haruto, membuat Leroy terdiam seketika.

"Setidaknya mengurangi rasa sakit—" dengan keras hati Leroy berucap, tangannya sudah berhasil menyapu darah kering di dagu, Haruto tidak melakukan penolakan.

"Sakit, aku tahu perasaan itu. Bahkan kau pura-pura kuat meski berbicara sepatah pun membuat luka di bibirmu perih." tangannya sudah berlabuh dengan memeriksa luka di bibir itu.

  Leroy mengembuskan napas, lukanya cukup dalam dan memanjang vertikal. Tarikan kail itu memang suda dapat diakui kuat. Leroy menepuk pelan area luka, kemudian tangannya mengambil kapas baru—menuang obat merah secukupnya.

"Ini akan sedikit perih," Leroy berucap memperingatkan Haruto.

  Saat kapas sudah menyentuh luka, Haruto sempat tersentak karena rasa pedih. Bola matanya memilih melihat apa pun, ia benar-benar menghindari kontak mata dengan Leroy. Beberapa menit selanjutnya, Leroy berhasil selesai mengobati luka Haruto. Kini dengan senang hati bersedia mengantar Haruto pulang.

  Mereka terlihat keluar mengendap-endap, berlarian menuju gerbang utama, bahkan bersembunyi di pot tanaman hingga akhirnya bisa lolos dari area sekolah itu. Sepanjang jalan, tidak ada dari mereka untuk saling berbagi cerita, padahal ini adalah kali kedua bagi Haruto diantar Leroy—entalah, padahal Haruto mengkhawatirkan nasib Leroy jika ketahuan mengatarnya, diam-diam berteman dengan sasaran bully. Leroy sama saja dengan berkhianat pada teman-temannya itu.

"Saat SMP, aku menjadi juara satu di kontes story telling. Aku suka bercerita, tentang apa pun." sebelum persimpangan, Leroy membuka pembicaraan, meski beberapa detik tidak ada jawaban dari Haruto.

"Aku lahir sebagai anak tunggal, keluarga kelas bawah. Di Amerika, ayahku bekerja di sebuah pabrik, sebagai buruh kasar, ibu hanya pekerja purna waktu." Leroy meneruskan perkataannya, langkah Haruto melambat meski tak merespons perkataan Leroy.

"Kami tinggal di sebuah rumah bawah tanah, begitu ibu mengatakannya padaku. Yang kutahu, kami hidup sudah lebih mirip seperti tunawisma—dapat sehari habis sehari. Minggu depan aku sudah lulus dari masa SMP, harusnya aku bahagia tapi, di hari kelulusan ibu pergi tanpa sepengetahuan ayah—kulihat dia pergi dengan seseorang, buktinya masuk ke dalam mobil mewah... Dan..." Leroy menelan ludah.

FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang