21

240 22 3
                                    


21.00

   Mobil tepat singgah pada sekian meter, mesinnya telah mati hingga tak menimbulkan suara kebisingan, sorot lampu pun tak menjadi hal mencurigakan. Dengan pakaian yang seadanya, berbau anyir, tubuh kotor hingga pakaian berbaur apak dan sepatu yang bawahnya menempel tanah liat kemerahan. Langkahnya mengentak bumi perumahan, satpam terlihat tak berjaga-jaga—karena semuanya sudah terencana. Tepat pada bawah jendela, ia mendongakkan kepalanya mengingat rincian yang sempat dikatakan Whisper, kamar Leroy ada di lantai dasar dan kamar Seon-yong ada di lantai atas.

  Tangannya mengetuk kaca, wajahnya yang pucat nan kotor terpantul lewat panel ganda, desain bingkai fiberglass. Selama ia menatap desain jendela itu, tidak ada respons dari dalam sana. Haruto memukul jendela itu, berkali-kali hingga telapak tangannya berdarah—dan dari dalam kamar sana, Leroy merasakan jantungnya berdegup kencang bahkan membekap mulutnya demi untuk tidak menimbulkan suara. Leroy berkeringat dingin, tangannya gemetar mengambil ponsel untuk memastikan siapa yang ada di luar jendelanya.

  Setelah ketukan yang beruntun tanpa suara kecuali napas yang mengembus terbawa angin, Leroy mengambil pisaunya yang terbungkus kertas dilepaskannya kertas itu kemudian digenggamnya dengan erat, flash pada ponselnya menyala—lamgkahnya takut-takut menuju jendela, dalam hitungan detik disibaknya korden itu. Sepasang mata yang teduh tepat menyalak karena cahaya senter. Sontak Leroy mundur menjatuhkan pisau hingga ponselnya, layarnya pun retak acak saat Leroy kembali memungutnya.

"Biarkan aku masuk, Leroy," ucap Haruto dari luar sana, terdengar kecil di telinga Leroy.

  Leroy kembali menyibak korden yang panjang, matanya bulat sempurna melihat Haruto mematung dengan mata yang tak berkedip menatapnya. Seperti tak percaya, Leroy menempelkan telapak tangannya, ia berjinjit untuk memastikan sekitar perumahan yang sepi. Pertanyaan, bagaimana Haruto bisa masuk padahal ada dua satpam yang berjaga-jaga, kendati Leroy begitu heran. Ia tetap membuka jendela, membuat Haruto tersenyum senang dengan senandung lagu the cigarette di dalam kepalanya.

"Apa yang kau lakukan, Haruto?" Tanya Leroy, kepalanya menyembul keluar dari bagian jendela, menjulur untuk dapat berkomunikasi dengan Haruto.

"Biarkan aku masuk," pinta Haruto, dengan tanpa ekspresi.

"Jika kubiarkan kau masuk, Mama pasti akan tahu kau ada di sini," jawabannya dengan rasa ragu.

Haruto menggelengkan kepalanya. "Aku datang untuk pulang, kau yang mengajakku kala itu," pungkasnya.

Leroy terdiam seketika, ia membenarkan ucapan itu dan ia ingat perkataannya tempo lalu. "Ap— apa kau, maksudku berhentilah balas dendam, Ruto. Tidak ada gunanya.

"Terlambat Roy, semuanya sudah terjadi." kedua bola mata Haruto menatap lembut kepada lawan bicaranya.

"Tidak ada kata terlambat jika kau mau berhenti!" cetus Leroy, membuat Haruto mendengus tak suka dengan perkataan Leroy.

  Haruto mengeratkan genggaman tangannya, membuat sapu tangan yang digenggamnya mengerucut. Leroy tidak mendapatkan jawaban dari Haruto kecuali tatapan kosong yang membingungkan dan aroma tubuh Haruto yang anyir nan pekat bau keringat—bau tubuh yang tercampur oleh alam, bermenit-menit Leroy menyaksikan Haruto berdiam diri, membuatnya bosan menunggu jawaban itu. Leroy berbalik badan sambil mengembus kecewa.

"Setelah apa yang kau lakukan dengan Junghwan, jangan kau kira aku memaafkanmu, Leroy!
 
  Mendengar ucapan Haruto yang tegas membuat jantung Leroy membeludak, keringat dingin menetas di tulang baji. Kepalanya hendak menoleh, dengan sigap Haruto melakukan gerakan mengunci—dengan mengaitkan lengan kirinya ke leher Leroy, sementara tangan kanannya membekap hidung dan mulut Leroy dengan sebuah sapu tangan. Dalam beberapa detik, tubuh Leroy jatuh di tempat, Haruto menyempatkan diri untuk masuk lewat jendela. Dengan lihai ia menutup kembali jendela setelah berhasil masuk.

FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang