05

268 32 6
                                    

  
  Haruto terduduk lemas, lagi dan lagi ia muntah. Tangan kanannya menekan tombol di atas toilet,  Haruto menyandarkan kepalanya pada dinding—matanya meneteskan air mata, dengan suara yang tertahan, sejujurnya Haruto mencoba melupakan kejadian lima menit tadi. Muak! Benci! Dendam terasa membara dadanya, ia memukul diri—menyalahi diri yang tak bisa menjaga diri, Haruto dihina dengan pelecahan itu, pelecehan yang amat keji.

  Haruto berusaha berdiri, ia mengusap air mata. Waktunya pulang, pikirnya. Meskipun besok hari seperti babi yang siap digiling hidup-hidup, tak akan puas mereka menyiksa, melukai, bahkan tak segan melakukan hal-hal diluar norma susila. Haruto tak mengerti dimana kesalahannya, apa salahnya, kehidupan yang dikehendakinya normal justru tidak tercapai.

"Kau melihat ekspresinya? Dia seperti memohon!" suara itu tembus sampai bilik tempat Haruto yang sudah hendak pulang.

"Sayangnya Doyoung tidak ikut! Kupikir dia jera, pemukul kasti tadi juga sampai patah." itu suara Caspian, seolah membanggakan diri.

"Kau dapat bintang lima untuk itu." suara Junghwan terdengar dingin.

  Haruto lekas mengintip, kawanan itu sudah berada di jauh dari toilet. Haruto mengernyitkan dahi, melihat Peony menyeret sebuah pemukul kasti, mereka seperti menyeret senjata lainnya. Haruto menelan ludah—ia segera pergi, menuju kawasan asrama blok B, yang tak jauh dari deretan kamar siswa di blok B. Haruto merapatkan bibirnya saat ia melihat Leroy sudah terduduk di kerumuni tetanggan—siswa asrama yang terkejut melihat penyerahan dadakan.

  Haruto segera mempercepat langkahnya kaki, kerumunan itu membuka jalan saat mendengar suara Haruto yang singkat dan pelan. Haruto menemukan Leroy setengah sadar, patahan kayu masih terlihat nyata di sudut pintu—kerumunan yang paham membantu membawa Leroy masuk ke kamarnya, sementara yang lain kembali ke kamar.

  Haruto diam, setelah para tetangga keluar kamar. Haruto menutup pintu, memilih mencari kotak p3k, beruntungnya kotak itu sudah terpampang di bawah meja belajar. Lekas ia mengambil, tanpa banyak bicara mulai membersihkan darah serta mengobati luka kemudian menempelkan plester luka.

"Mereka memukulimu gara-gara aku." cetus Haruto, setelah selesai mengobati luka di wajah, tangan dan bahkan kaki.

"Buka bajumu, aku tahu ada memar di perutmu." tanpa penolakan Leroy membuka bajunya, kemudian berbaring di atas ranjang, sementara Haruto mencoba mengobati memar merah kehitaman.

  Memar itu cukup memprihatinkan, Haruto mendesah dengan sarat makna, setelah selesai mengobati memar itu. Haruto duduk sementara Leroy menyandarkan diri, entahlah Haruto merasa bersalah, coba saja Leroy tidak peduli dan memilih mengabaikannya maka, tidak mungkin Leroy menderita seperti dirinya.

"Jangan khawatir, ini bukan kali pertama aku dikeroyok," ucap Leroy lirih tanpa menoleh ke arah Haruto.

"Jangan bicara, luka di sela bibirmu masih basah," jawab Haruto.

"Hei... Aku sudah terbiasa—" sangkal Leroy. "Di Amerika mereka lebih kejam, mereka bisa membunuh.  Saat SMP, mereka hampir membunuhku, dengan menggantungku di flatpon kelas. Amerika lebih kejam, dan Korea masih diperingkat dua." meski terluka Leroy masih banyak bicara.

"Sekecil itu mereka sudah berhati kejam, bagaimana saat mereka dewasa. Pasti menekan angka tertinggi kriminal di satu kota," ucap Leroy lagi, Haruto hanya bisa memperhatikan setiap gerakan Leroy.

"Aku tidak akan membiarkan mereka dewasa, ada saatnya aku bisa bertindak." kalimat itu meluncur bebas dari mulut Haruto, mengikuti kata hati dan nalurinya.

"Lupakan, aku tidak yakin dengan kemauan mu di masa depan. Setidaknya tetap menjadi anak baik." Haruto menoleh melihat ekspresi Leroy tadi.

"Kita tidak tahu, bagaimana ke depannya seseorang," jawab Haruto, tidak mau diremehkan seperti itu.

FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang