PROLOG

549 51 9
                                    


   Di bawah hujan lebat malam itu, Haruto menyeret kakinya yang terasa sakit di bagian tungkai hingga terasa perih pada bagian pahanya. Kedua tangannya memeluk boneka beruang, bibirnya terkantup sesekali berdesis. Hatinya meraungkan rasa sakit, Mama mengusirnya—dari rumah setelah ia dipukuli dan ditenggelamkan dalam kamar mandi. Suara angin dan riuh air hujan menyambut pedih hatinya—Ayah tak pernah pulang, meski Haruto sering mengadu.

   Wajahnya menunduk, langkahnya terhenti tepat di bawah lampu yang temaram, bibir pucatnya terbuka sedikit, ditatapnya wajahnya lamat-lamat di pantulan genangan air. Tersenyum ciut anak itu, bekas pukulan merah kebiruan bagai bintang di wajahnya. Kemudian, ia mendongak, mencari cahaya lampu yang lebih terang—Haruto menelan ludah, ditentengnya boneka beruang itu di tangan sebelah kirinya, sementara tangan kanannya menampung air hujan.

  Haruto kembali melangkah, dengan menyeret kakinya yang pincang karena dipukul dengan tongkat kayu. Haruto berhenti melangkah saat dilihatnya, segerombolan orang dewasa memakai jas hujan—Haruto menelan ludah, tubuhnya sempat hendak berbalik namun, hal itu justru terlambat—ketika salah satu dari mereka menghampiri.

  Orang itu menyulut rokok di sela bibirnya yang hitam, dengan tato cobra yang kecil di bagian dahinya. Haruto diam dan takut, rambutnya yang basah menetes beberapa kali dan orang asing di hadapannya justru memperhatikan Haruto dari atas hingga ujung kakinya. Laki-laki asing yang sudah mirip preman mengembuskan asap rokoknya pada wajah polos nan pucat Haruto.

"Berikan uangmu, lalu kau bebas melewati jalan ini," ucap lelaki itu, masih sempat menghidu rokoknya.

  Haruto diam mematung, tangannya gemetar mengecek saku baju hingga celananya. Tangannya gemetar, Haruto hanya menemukan permen sisa kemarin—disodorkannya beberapa butir permen yang basah di telapak tangannya. Lelaki yang mengaku sebagai penguasa wilayah tempat ini merasa diejek oleh anak laki-laki yang jelas bisa dikira-kira usianya sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun.

  Lelaki itu memukul tangan Haruto, butiran permen yang basah di tangannya sontak meloncat jatuh ke aspal. Mata Haruto melihat sebentar permen itu, hingga kemudian lelaki memakai jas hujan berdehem dan menatap tajam ke arah Haruto—detik kemudian tendangan kuat diterima Haruto, membuat tubuhnya jatuh tengkurap, lelaki itu memanggil beberapa temannya. Haruto tak dapat bangun karena lelaki itu menginjak kuat wajahnya, rasanya hendak pecah saja bola matanya.

   Tekanan pada wajahnya berakhir ketika rokok yang masih menyala tepat menempel pada lengannya, panas sekaligus perih langsung terasa. Lelaki dewasa yang berjumlah tiga orang itu tertawa kesenangan, Haruto menahan tangis, mencoba anak itu berdiri dan meraih boneka miliknya—satu-satunya teman setia baginya. Kendati berhasil berdiri dengan rasa sakit, sekarang justru tubuhnya limbung karena tinju mengenai wajahnya, mata Haruto langsung membengkak.

   Kini dalam benaknya, Haruto bertanya, apa salahnya? Apa yang ia lakukan salah? Bahkan setiap hari Mama tak menghiraukannya, Mama juga memukulinya setiap kesalahan kecil dilakukannya. Haruto tak bisa berpikir waras dengan banyaknya hal yang ia terima, namun Haruto tentu tahu semua rencana bejat Mama. Haruto pernah mendengar permintaan Mama lewat sebuah telepon, jika ia hendak sekali hidup bebas tanpa parasit penghisap payudara, yang tua bangka namun tak juga dapat diandalkan.

   Mungkin, tiga orang laki-laki di hadapannya adalah suruhan Mama? Haruto terduduk di aspal, tidak lagi bisa apa-apa ia mendapati banyak pukulan. Tubuhnya yang lemah dengan mudah di angkat dua lelaki yang kiranya teman si perokok tadi, Haruto berdiri dengan sempoyongan, boneka beruang miliknya tepat ia pegang di tangan kanan—lelaki perokok tadi tersenyum meremehkan, Haruto tak tahu apa yang akan mereka lakukan kali ini, pandangannya buram karena rasa pusing saat beberapa kali mendapatkan pukulan.

    Darah mencirit, tubuh Haruto rubuh di atas aspal, boneka beruang miliknya terlepas—sepercik noda darah mengenai teman setia. Mata Haruto terbuka melihat dunia yang semakin buram, luka di perutnya sungguh terasa perih ketimbang luka lainnya—Haruto menitikkan air matanya, di bawah hujan darah Haruto tercampur dengan genangan air. Tiga lelaki itu sudah tak tahu lagi kemana rimbanya, tanpa rasa bersalah pergi begitu saja mereka, meninggalkan seonggok daging tak berguna. Dan yang sekarang dirasakan Haruto adalah kesakitan yang luar biasa, perih, dan jerit tertahan dari mulut kecilnya, ia menggigit bibir bawah yang jelas-jelas luka—luka yang tak kunjung kering.

   Hendak sekali ia bersuara, atau sekadar meraih teman setia, namun, dalam keadaan terluka mampukah dia? Tentu tidak, kini Haruto hanya merasa pasrah menerima kenyataan jalan hidupnya, mengikuti alur waktu yang tak pernah adil padanya. Perlahan-lahan matanya terpejam, sulit baginya mengambil napas—darah yang setia menemani tubuhnya dan air hujan yang berusaha membasuh darah di sekujur tubuhnya.

Dia hanya seorang inklusi, yang mencari kasih sayang, Haruto hanya ingin menemukan dirinya, yang lama hilang.

05 Agustus 2023

To be continued

Haruto



Doyoung

Doyoung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang